Astaga, 62% Kasus Kekerasan Seksual Terjadi di Jenjang SD

Jumat 02-07-2021,19:29 WIB
Editor : Ari Suryanto

RADARLAMPUNG.CO.ID – Dua masalah krusial dihadapi pemerintah dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) saat ini. Pertama, sulitnya menjamin kelangsungan pemakaian kontrasepsi modern dengan prioritas pada pelayanan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti IUD (intra uterine device) dan Implan atau Susuk KB. Permasalahan lain adalah minimnya jaminan pelaksanaan program berbasis hak klien. Dalam artian, klienlah yang menentukan pilihannya. ’’Pemerintah harus menjamin informasi seluas-luasnya kepada mereka yang membutuhkan pelayanan yang terjangkau dan berkualitas. Juga non-diskriminatif dan ekual untuk semua kelompok,” ujar Prof. Dr. dr. Siswanto Agus Wilopo, MSc. ScD, selaku Penanggung Jawab Penyelenggara Pertemuan, kala menyimpulkan hasil diskusi pertemuan ilmiah KBKR, secara daring 28-30 Juni 2021. Ia mengungkapkan, bukti ilmiah memperlihatkan jika masyarakat mendapat informasi dan pelayanan seluas-luasnya dan berkualitas, kinerja program dengan sendirinya meningkat. Lalu, bukti ilmiah lain memperlihatkan bahwa kelangsungan pemakaian kontrasepsi modern dengan prioritas pada pelayanan pemasangan MKJP seperti IUD dan implan atau susuk KB akan berdampak sangat baik bagi kinerja program dan aspek kesehatan juga psikologis klien. ’’Tentu harus dibarengi dengan pemberian informasi dan konseling yang benar sehingga pilihan jenis kontrasepsi tetap pada klien,” pesannya. Masalah lain adalah pembiayaan pelayanan KBKR yang terlindungi oleh BPJS. Pada pusat pelayanan swasta maupun bidan praktik swasta, hal ini masih belum dipahami karena minimnya informasi. ’’Mereka cenderung memberikan pelayanan KB dengan KB suntik dari pada MKJP, karena tarif yang dibayarkan BPJS untuk pelayanan MKJP masih sangat rendah,” ucapnya. Pada pertemuan tersebut, topik yang juga dibahas adalah KR remaja yang menunjukkan berbagai inovasi baru. Yakni tentang bagaimana memodali remaja dengan pengetahuan Kespro. Hanya saja, hasilnya belum cukup menggembirakan. Cakupan program masih cukup rendah sementara dorongan dari luar menekan mereka (pressures). Sehingga berperilaku negatif jauh lebih kuat dan lebih besar, termasuk dorongan dari media-media sosial. Di mana, terkadang informasi yang tersebar benar-benar bertentangan dengan informasi yang seharusnya diberikan pada remaja. “Hal ini merupakan tantangan dan pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia ini agar kita dapat meraih bonus demografi di masa depan,” ujar Prof. Siswanto. Ia melanjutkan, dalam pertemuan ilmiah kali ini, penyelenggara menampung seluruh kerja keras seluruh anggota konsorsium. Mulai dari penelitian, intervensi model baru dan evaluasi program KB KR di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bukti-bukti ilmiah yang dapat digunakan oleh seluruh pihak. Di mana, pertemuan ilmiah ini digagas bersama oleh Pusat Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gajah Mada bersama dengan Rutgers WPF Indonesia dan di dukung oleh Konsorsium “A Champion of Indonesia Family Plannning and Reproductive Health” dengan tema “Memperkuat Kebijakan dan Strategi Implementasi Program KB-KR Berdasarkan Data dan Kajian Ilmiah”. “Hasil pertemuan ilmiah akan disampaikan pada pihak pemerintah, dalam hal ini BKKBN dan Kementrian Kesehatan untuk menjadi bahan pertimbangan perbaikan program KBKR ke depan,” sebutnya seraya menerangkan bahwa seluruh materi yang dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah ini dapat diakses seluas-luasnya melalui laman website icifprh.com selama setahun ke depan. Sementara itu, sebagai pembicara kunci: Kepala BKKBN Dr. dr. Hasto Wardoyo SPog, dalam paparannya menyampaikan kasus-kasus kekerasan pada anak dan remaja meningkat tajam. Hasil Survey KPAI menunjukkan dari 21 kasus kekerasan seksual terjadi di sekolah, 13 kasus atau sebanyak 62% terjadi di jenjang SD, 5 kasus atau 24 % di jenjang SMP/Sederajat dan 3 kasus atau 14% di jenjang SMA. Sedangkan Komnas Perempuan di tahun 2019 mencatat 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, di antaranya 770 merupakan hubungan inses dan 571 kekerasan seksual. “Kekerasaan seksual terjadi di tempat-tempat yang sangat menyedihkan, seperti di sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA. Di mana, di tingkat SD justru tercatat lebih banyak,” bebernya. Selain itu, kekerasan seksual online pada anak menjadi tren baru di banyak negara, termasuk Indonesia. ’’Maka dari itu, sangat penting untuk dilakukan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini,” ujar Dr. Hasto. Ia juga menyatakan, banyak tantangan dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi remaja. Ini karena adanya pemikiran hal tersebut masih merupakan hal yang tabu dibicarakan dengan anak sebelum mereka dewasa. “Sebenarnya pengenalan seksualitas pada anak diawali dengan mengenal organ reproduksinya, menjaganya untuk menjadikan generasi muda kita menjadi generasi yang sehat, bukan dipersepsikan tentang pelajaran hubungan antara pria dan wanita,” ungkap Dr. Hasto. Sementara, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang juga penanggung jawab Komite Ilmiah Prof. Meiwita P. Budiharsana merangkum, pertemuan ilmiah ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Sebab, dalam jangka waktu yang pendek, yakni dua bulan, dapat mengembangkan jejaring KBKR dan kespro remaja yang cukup kuat. “Ini bukan hal yang mudah, dan merupakan kekuatan kita (Strength),” ucapnya. Namun, lanjut dia, kelemahan yang didapati adalah pihak-pihak terkait masih belum dapat menciptakan kemitraan yang maksimal dengan remaja --masih merupakan komunikasi satu arah. ” Kita belum memberikan kesempatan yang maksimal bagi kaum muda untuk bersuara, untuk menentukan. Misalnya dalam penentuan agenda acara. Mereka memiliki program-program yang kreatif dan inovatif. Pertemuan kali ini masih bergaya ‘lama,’ (business as usual),” sebutnya. BKKBN, lanjut dia, tampaknya ingin membuka kesempatan bekerja sama. Yang mana, dalam pertemuan kali ini Kepala BKKBN menyebutkan program-program inovatif yang dilaksanakan oleh UNFPA, Rutgers WPF Indonesia, JHCCP, dan organisasi lainnya yang sudah melakukan beragam terobosan. Namun yang disesalinya, Kepala BKKBN dinilai tidak bisa memberikan jaminan yang sangat mendasar, untuk membuka akses informasi tanpa adanya diskriminasi umur dan status perkawinan. ’’Masih belum ada pintu terbuka untuk akses informasi seperti ini karena pintu di UU No. 52 tentang Kependudukan masih tertutup untuk itu,” tambah Prof. Meiwita seraya menerangkan bahwa pertemuan ilmiah ini akan dilanjutkan dengan Konferensi Internasional tentang KB KR pada Juli 2022. (sur)

Tags :
Kategori :

Terkait