Begitu mendarat mereka diproses secara khusus. Harus mengisi banyak formulir. Mereka harus di hotel itu 14 hari. Setelah itu --kalau baik-baik saja-- barulah boleh pulang ke kampung masing-masing.
Di hotel itu mereka hanya boleh di kamar. Harus hanya di kamar. \"Ke lobi hotel pun tidak boleh,\" tulis teman saya itu lewat WeChat-nya tadi malam.
\"Siapa yang bayar hotel,\" tanya saya lewat WeChat pula.
\"Bayar sendiri. Sesuai tarif hotel. Tarif normal,\" tulisnya.
Tadi malam itu sudah malam ketiga ia di hotel karantina itu. Masih 11 hari lagi baru boleh ke kampung.
Dari Zhengzhou nanti ia akan pulang naik kereta cepat. Yang harus melewati Wuhan.
Selama di hotel setiap hari ia harus lapor: berapa suhu badannya. Dua hari sekali. Di kamarnya memang disediakan alat pengukur suhu badan.
\"Lapornya ke manajemen hotel. Lewat WeChat,\" katanya.
\"Laporan saya selalu sama. Suhu badan saya 36.5 derajat Celsius,\" katanya.
Tapi ia tetap tidak bisa ke mana-mana. Biar pun Shaolin Temple di dekat situ. Biar pun kotanya Judge Bao tidak jauh dari situ. Saya, dulu, termasuk sering ke Zhengzhou --hafal makanan enaknya di mana saja.
Maka terjadilah apa yang harus terjadi. Perjalanan Jakarta-Nanchang pada 2020 ini ternyata harus ditempuh selama 16 hari. Dua hari di perjalanan. 14 hari di karantina. Dengan biaya total Rp 50 juta --dari biasanya hanya Rp 12 juta.
Tiongkok kini memang mengawasi ketat siapa pun yang datang dari luar negeri. Pun bila itu warganya sendiri.
Hampir semua penderita baru Covid-19 di Tiongkok belakangan ini adalah orang yang datang dari luar negeri.
Pendatang yang ODP-pun mereka terima. Dengan pengawasan lebih khusus. Dengan tempat karantina yang berbeda. Dengan perlakuan yang khusus: kaki mereka diberi gelang elektronik. Seperti yang dipakai --siapa itu-- di Vancouver, Kanada itu.
Dengan gelang kaki itu mereka ketahuan: meninggalkan tempat karantina atau tidak.
Ilmu manajemen --plus teknologi, plus leadership-- kelihatannya bisa diandalkan untuk mengatasi apa pun.