Radarlampung.co.id - Kasus Bank Century hidup lagi. Mati lagi. Di luar negeri. Lebih tepatnya akan hidup-mati terus.
Yang menghidupkan dan mematikannya itu media dari Hongkong: Asia Sentinel. Media online. Tapi dikenal sangat serius. Reputasinya tinggi. Independen. Profesional.
Tapi kali ini agak aneh.
Tanggal 12 September lalu media itu membuat heboh. Di Indonesia. Partai Demokrat merasa dirugikan. Akan mensomasinya. Sebelum somasi dilayangkan berita tanggal 12 September itu tidak ada lagi.
Berarti hanya tiga hari berita itu mejeng di Asia Sentinel. Tanpa pemberitahuan: mengapa berita itu dicabut. Juga tidak ada permintaan maaf.
Orang media bisa bingung. Apa yang terjadi. Kalau pencabutan itu karena Asia Sentinel merasa bersalah harusnya minta maaf. Kalau tidak minta maaf mestinya tidak merasa bersalah. Itulah uniknya media online. Yang tidak akan terjadi pada media cetak.
Di media cetak sebuah berita abadi adanya. Termasuk berita salah. Tidak bisa dicabut. Tidak mungkin. Sudah terlanjur dicetak. Terlanjur beredar. Kalau berita koran itu salah harus diralat. Kalau merugikan orang lain harus meralat plus minta maaf.
Di online ada enaknya. Pernah tulisan saya salah menyebut tahun. Begitu pembaca meluruskannya langsung bisa diubah.
Di koran tidak bisa. Yang sudah terlanjur beredar abadi adanya.
Tapi berita online itu kan juga sudah beredar. Sudah disimpan orang. Dalam file. Bahkan sudah diprint juga. Ahli kode etik tentu tertarik mendiskusikannya. Pun para ahli hukum pers.
Asia Sentinel mestinya tidak main-main. Pimrednya wartawan senior: John Berthelsen. Lahir di California. 30 tahun jadi wartawan. Di Asia. Pernah tinggal di berbagai negara Asean. Kini umurnya sekitar 82 tahun.
Berthelsen asli seorang wartawan. Kuliahnya di California State University di Chico. Sastra Inggris. Kira-kira 130 km di utara San Fransisco.
Koran pertama tempatnya bekerja adalah Sacramento Bee: bacaan saya setiap ke Sacramento. Ibukota California. Waktu itu. Kalau lagi nengok anak saya yang kuliah di sana. Dua jam bermobil dari San Fransisco.
Tahun 2015 Berthelsen pernah disomasi wanita Malaysia: Rosmah Mansor. Agar minta maaf. Dalam 28 jam.
Itu gara-gara Asia Sentinel menulis begini: Rosmah berusaha mengganti gubernur Bank Sentral Malaysia. Dengan pejabat baru dari kroni suaminya: Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak. Berthelsel bergeming. Tidak mau minta maaf. Tentu saja.
Yang akan disomasi Partai Demokrat itu memang memojokkan. Judulnya sexy: Indonesia’s SBY Government: ‘Vast Criminal Conspiracy’. Penulisnya: John Berthelsen sendiri.
Judul itu tidak menuduh SBY pribadi. Melainkan pemerintahan SBY. ‘Vast Criminal Conspiracy’-nya juga pakai tanda kutip.
Berthelsen wartawan kelas berat. Setelah di Sacramento Bee ia bekerja untuk koran terkemuka di dunia: Asian Wall Street Journal. Sebagai edisi Asia. Dari Wall Street Journal New York.
Berthelsen sangat idealis. Ia pernah jadi wartawan perang. Meliput perang Vietnam. Selama delapan tahun. Ia mendirikan Asia Sentinel juga karena idealisme: koran-koran Barat kurang mau lagi mengcover Asia.
Koran Barat semakin menjadi koran lokal. Itulah tuntutan masyarakat baru di sana. Juga di mana saja. Termasuk di Indonesia. Koran nasional hilang. Koran lokal terbilang.
Karena itu Wall Street Journal menutup edisi Asianya. New York Times menutup Intermational Herald Tribunenya. Majalah Asiaweek tutup juga. Kantor biro mereka di Asia dikecilkan. Atau dibubarkan.
Berthelsen bersama mantan wartawan-wartawan eks koran terkemuka itu mendirikan Asia Sentinel. Secara online.
Tentu harusnya tidak ada yang berang. Membaca berita Bank Century itu. Di Asia Sentinel itu. Berita itu bersumber dari dokumen gugatan perdata.
Namanya gugatan. Bisa saja menguraikan apa saja. Dari versi penggugatnya. Mungkin benar. Mungkin salah. Pengadilanlah yang akan menentukannya.
Tapi sebelum menurunkan tulisan tersebut harusnya Asia Sentinel melakukan cross check. Ke yang terpojokkan di tulisan itu.
Asia Sentinel tentu sudah sadar: berita itu bersumber fakta tapi sepihak. Dari dokumen gugatan saja. Yang menggugat adalah satu perusahaan investasi. Di republik Mauritius. Negeri surganya pajak. Siapa saja boleh bikin perusahaan di sana. Tanpa harus beroperasi di sana.
Nama penggugat itu: Weston International Capital Limited. Yang digugat banyak pihak. Terutama lembaga keuangan dari Jepang: JTrust. Yang punya anak perusahaan di Indonesia: Bank JTrus Indonesia.
Dalam dokumen gugatan itulah nama Indonesia terseret. Misalnya ada nama 30 pejabat. Yang dinilai melakukan konspirasi lewat Bank Century. Yang pejabat-pejabat itu umumnya dinilai sebagai tukang stempel saja. Ikut saja skenario konspirasi entah dari siapa.
Mengapa JTrust digugat? JTrust adalah pemenang lelang.
Saat saham bank Mutiara dijual. Di tahun 2013. Bank Mutiara itu dulunya bernama Bank Century Tbk. Pemegang saham utamanya Robert Tantular.
Bank Century nyaris kolaps. Saat terjadi krisis global. Di tahun 2008.
Para nasabahnya tentu terancam kehilangan uang. Makanya Bank Century diselamatkan. Dengan dana dari LPS. Sebesar sekian triliun rupiah itu.
Bank Century selamat. Menjadi milik LPS. Atau pemerintah. Lima tahun kemudian namanya diganti: menjadi Bank Mutiara.
Gugatan itu menyebut, seperti ditulis John Berthelsen, salah satu nasabah Bank Century dulu adalah Partai Demokrat. Uang yang disimpan di situ, katanya, uang gelap. Tentu itu harus dibuktikan. Partai Demokrat sudah membantahnya.
Ditunggu saja apa kata pengadilan. Kalau pengadilan Mauritius mau menerima gugatan itu. Bisa juga tidak mau. Peristiwa ini terjadinya kan di Jakarta. Pengadilan di sana bisa menolak menyidangkannya.
Atau penggugat itu digugat saja. Biar buka-bukaan. Apa katanya nanti. Begitulah.
Perusahaan Mauritius itu berprinsip: Weston International Capitallah yang mestinya menang lelang. Bukan JTrust.
Bahkan Weston menuduh JTrust kongkalingkong dengan berbagai bank internasional. Seperti Standard Chartered Inggris, UOB Singapura dan Nomura Jepang.
Penggugat juga menuduh JTrust ini: saat lelang dulu JTrust tidak menyebut sumber dananya dari mana.
Waktu itu JTrust menawar Bank Mutiara sebesar USD 898 juta dolar. Tanpa, kata penggugat, menyebut sumber dananya dari mana.
Padahal ini: dalam dokumen tender menyebutkan penawar wajib membuka diri: dari mana sumber dananya.
Bahkan Weston menuduh JTrust tidak pernah benar-benar membayar dengan angka itu. Yang dibayar hanya 24 juta dolar. Atau hanya 6,8 persennya. Itu pun sudah lewat waktu. Sudah telat 33 hari. Sisanya, katanya, dibayar dari syariah promesory note Bank Indonesia. Itu pun kemudian diganti dengan asuransi.
Itulah versi Weston. Semua itu baru versi Weston. Belum kita dengar versi JTrust.
Weston minta JTrust membayar ganti rugi. Tidak tanggung-tanggung: USD 1 miliar.
Asia Sentinel sendiri terus memberitakan ini. Sejak lima tahun lalu. Baru sekarang terjadi mencabut beritanya.
Weston memang sudah menggugat JTrust sejak itu. Dan tampaknya akan terus berjuang. Termasuk berjuang di luar pengadilan. Melaporkannya ke komisi anti korupsi perserikatan bangsa-bangsa.
Ini seperti permainan biliar. Sana yang dipukul. Sini yang kena. Kalau bolanya tidak meleset. (dis)