Miris, Kekerasan dalam Pacaran Sentuh Angka 1.309 Kasus

Jumat 03-09-2021,19:43 WIB
Editor : Ari Suryanto

RADARLAMPUNG.CO.ID - Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia dinilai berada dalam kondisi darurat. Kementrian Pemberdayaan Perempian dan Perlindungan Anak (PPA) mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021 tercatat 426 kasus kekerasan seksual dari 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Catatan tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2021 menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020. Tampak, terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang cukup ekstrim, di antaranya meningkatnya angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar tiga kali lipat yang tidak terpengaruh oleh situasi pandemi, yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik sebesar 64.211 kasus di tahun 2020. Demikian pula angka kasus kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau disingkat KBGS yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020. Hal yang sama dari laporan Lembaga Layanan, pada tahun 2019 terdapat 126 kasus, di tahun 2020 naik menjadi 510 kasus. Meningkatnya angka kasus kekerasan berbasis gender di ruang online/daring (KBGO) sepatutnya menjadi perhatian serius semua pihak. Angka kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi berdasarkan Provinsi berbeda dengan tahun sebelumnya. Tahun ini, kasus tertinggi tercatat di DKI, dengan 2461 kasus, disusul JawaBarat (1.011 kasus), lalu Jawa Timur (687 kasus). Kasus di DKI Jakarta mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu ada 2.222 kasus. Komnas Perempuan melihat tingginya angka berkaitan dengan jumlah ketersediaan lembaga pengada layanan (FPL) di Provinsi tersebut serta kualitas dan kapasitas pendokumentasian Lembaga. Sangatmungkin rendahnya angka kekerasan terhadap perempuan di Provinsi tertentu disebabkan ketiadaan lembaga tempat korban melapor atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga yang tersedia, atau rasa tidak aman apabila melapor. Data menunjukkan, ranah paling berisiko bagi perempuan mengalami kekerasan yaitu ranah personal, di antaranya dalam perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT). Pun dalam hubungan personal (hubungan pribadi/pacaran), yaitu sebesar 79% atau sebanyak 6.480 kasus. Pada tahun sebelumnya kasus KtP di ranah personal sekitar 75%. Dengan demikian terjadi peningkatan 4% pada tahun 2020. Ranah personal setiap tahunnya secara konsisten menempati angka tertinggi KtP yang dilaporkan selama 10 tahun terakhir. Tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan seksual. Catahu 2021 menunjukan bahwa jumlah kekerasan tertinggi di ranah KDRT/relasi personal sama seperti tahun sebelumnnya. Yaitu kekerasan terhadap istri (KTI) yang mencapai 3.221 kasus atau 50% dari keseluruhan kasus di ranah KDRT/RP. Disusul dengan kekerasan dalam pacaran (KdP) yang berjumlah 1.309 kasus atau 20 %. Lalu kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) sebanyak 954 kasus (15%). Sisanya adalah 401 kasus (6%) kekerasan mantan pacar (KMP), 127 kasus (2%) kekerasan oleh mantan suami (KMS), dan 457 kasus (7%) adalah bentuk kekerasan lain di ranah personal. Secara umum tahun 2020, ketiga jenis kekerasan mengalami penurunan jumlah. Namun penurunan jenis KDP tidak drastis, seperti dua bentuk kekerasan lainnya yaitu KTI dan KTAP. Hal ini tidak lepas dari pandemi Covid 19, dimana mobilitas isteri dan anak perempuan terbatas sehingga kesulitan mengakses lembaga layanan selain mengalami penutupan. Juga sistemnya berubah menjadi layanan online. Sedangkan kenaikan pada KDP ini sejalan dengan naiknya kasus KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) yang umumnya dilakukan dalam relasi pacaran. Kemudian, data kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal/privat menunjukkan terbanyak adalah fisik (31% atau 2.025 kasus). Disusul kekerasan seksual (30%/1.938 kasus). Selanjutnya kekerasan psikis yang mencapai 1792 kasus atau 28%. Dan terakhir kekerasan ekonomi yang mencapai 680 kasus atau 10%. Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menuturan, kekerasan terhadap perempuan mencakup setiap tindakan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi. Hal ini sebagimana tertuang dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 1993 Pasal 1). Lalu, berdasarkan UU PKDRT No.23 Tahun 2004 Pasal 1, kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Very memaparkan, kekerasan terhadap istri (KTI) tercatat 456 kasus dan KTI pada perkawinan tidak tercatat 19 kasus merupakan kasus yang paling banyak diadukan. Kemudian berturut-turut kekerasan mantan pacar terdapat 412 kasus, kekerasan dalam pacaran 264 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 125 kasus, KMS 49 kasus, KDRT/RP lain 78 kasus, dan PRT 1 kasus. KDRT/RP lain, kata dia, seperti kekerasan terhadap menantu, sepupu, kekerasan oleh kakak/adik ipar atau kerabat lain. ‘’Satu korban bisa mengalami kekerasan lebih dari satu bentuk atau biasa disebut kekerasan berlapis,” ucapnya kala menjadi salah satu nara sumber dalam Media Fellowship Webinar bertopik Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Jumat (3/9). Menyinggung tentang perkawinan anak, Komnas Perempuan dalam catatan tahunan menemukan bahwa pada tahun 2019 terdapat 23.126 kasus pernikahan anak, kemudian pada 2020 jumlahnya naik sebesar 64.211 kasus. Sementara, angka dispensasi kawin  tahun 2020  melesat tiga kali lipat dibandingkan tahun 2021 yaitu sebanyak 23.126. Angka ini bahkan melonjak 500% lebih banyak dibandingkan angka dispensasi kawin pada tahun 2018. Hal ini disebabkan di antaranya oleh situasi pandemi seperti intensitas penggunaan gawai dan persoalan ekonomi keluarga. Serta adanya perubahan UU Perkawinan yang menaikkan usia kawin menjadi 19 tahun bagi perempuan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2018) dan BPS, (2018) pernikahan anak perempuan yang berusia kurang dari 17 tahun sebesar 4,8 %persen; pernikahan anak perempuan di bawah usia 16 tahun sekitar 1,8 %; dan persentase pernikahan anak perempuan kurang dari 15 tahun sejumlah 0,6 %. Secara akumulasi, satu dari sembilan anak perempuan usia kurang dari 18 tahun telah menikah. Yang juga tak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah perdagangan orang (trafficking). Catahu Komnas Perempuan 2021 mencatat terjadi kenaikan kasus dalam perdagangan orang dibandingkan tahun sebelumnya dari 212 menjadi 255. Di mana, kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja migran menurun dari 398 tahun 2020 menjadi 157 tahun 2021. Dalam mencari keadilan, korban kerap menemui sejumlah hambatan. Salah satunya, korban kerap dilarang melaporkan kasus. Seringkali karena pengalamannya itu dianggap aib, ada juga karena intimidasi pelaku. Ironisnya, korban pun seringkali dilaporkan kembali sebagai pelaku. Hambatan lain, tidak semua tindak kekerasan seksual yang alami perempuan dikenali sebagai tindak pidana. Kemudian, tindak pidana KS yang ada terkadang tidak memiliki definisi yang komprehensif. Tak jarang, lanjut Very, alat dan proses pembuktian yang diatur dalam KUHAP menyulitkan korban. Bahkan, korban seringkali disalahkan dan distigma oleh aparat penegak hukum atas kasus yang dialaminya. Korban juga seringkali tidak mendapat pendampingan karena tidak diatur dalam KUHAP. Ada juga korban yang tetap alami stigma, pengucilan dan pemiskinan meski pelaku dipidana. “Ayo belajar memahami kondisi dan perasan korban. Dukung lembaga layanan untuk mendampingi korban dengan menjadi relawan, berdonasi, atau bantuan lainnya,” tukasnya. (sur)

Tags :
Kategori :

Terkait