Pemilu 2019: Rakyat Minta Jangan Asal Lontar Janji Manis di Kampanye

Selasa 25-09-2018,13:00 WIB
Editor : Redaksi

Radarlampung.co.id – Kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno diminta tidak asal mengumbar janji manis ke Rakyat selama masa kampanye pemilihan Presiden 2019. Hal ini mengantisipasi adanya penagihan janji kampanye ketika telah salah satu pasangan calon terpilih sebagai presiden dan wakil presiden 2019-2014 mendatang. Memang belakangan ini dalam media sosial ramai diperbincangkan janji-janji Joko Widodo saat menjadi capres 2014 lalu yang hingga kini dinilai belum teralisasi. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing meminta agar para pasangan calon presiden daqn calon wakil presiden tidak dengan mudahnya mengumbar janji janji manis saat masa kampanye. “Setuju (capres cawapres) untuk tidak asal melontarkan janji,” katanya saat berbincang dengan FIN, Senin (24/9). Dia menyarankan agar capres dan cawapres baik pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno lebih mengedepankan janji jani yang konkrit, terukur dan kuantitatif. Ini untuk menjawab dan memberikan harapan yang lebih baik persoalan yang dihadapi rakyat. “Menjawab persoalan yang dihadapi rakyat,” jelasnya. Selain itu, Emrus Sihombing juga mengingatkan agara capres-cawapres juga memberikan target waktu untuk memenuhi semua janjinya kepada masyarakat saat kampanye. “Ada jarak waktu pencapaian, ada laporan capaian pertahun. Dibuat dalam kontrak politik,” ujarnya. Namun yang terpenting, agar janji kampanye selalu teringat dan diingat masyarakat, kata Emrus, ada baiknya point point yang menjadi janji pasangan capres – cawapres dicantumkan dalam billboard di setiap kota seluruh Indonesia. KAMPANYE DAMAI BISA TERWUJUD? Emrus yang juga Direktur Eksekitif Lembaga EmrusCorner, juga menyinggung soal deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 yang telah diselenggarakan. Deklarasi ini ditandatangani masing masing pasangan calon (paslon) dan ketua partai politik. Akankah itu bisa terwujud? “Berkaca dari Pilpres 2014, amat sulit memastikan kampanye Pemilu 2019 berlangsung damai. Namun, menurut saya, kampanye damai itu pasti bisa kita wujudkan bersama,” ujarnya. Deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 sebaiknya tidak hanya selogan, tidak pula hanya formalistik dan tidak sebagai ‘hiasan dinding’ yang dipajang. Tetapi harus diwujudnyatakan dalam bentuk perilaku, utamanya dalam tindakan komunikasi politik di ruang-ruang publik, baik itu dalam penyelenggaraan kampanye di rung terbuka, di media massa periodik maupun non periodik, dan terutama di sosial media. “Mewujudnyatakan kampanye damai merupakan tanggung jawab bersama seluruh warga Negara Republik Indonesia, tentu utamanya peserta pemilu yaitu para caleg, kedua paslon capres-cawapres, partai politik, para tim sukses dan juru kampanye di lapangan,” tegasnya. Menurutnya, setidaknya ada enam hal yang bisa dilakukan para perserta pemilu untuk mewujudnyatakan isi deklarasi kampanye damai pada Pemilu 2019. Pertama, para peserta pemilu menawarkan (bukan adu) gagasan, ide dan terutama program yang terukur yang dapat menjawab permasalah yang menjadi target pemilih. Jika melakukan adu gagasan dan sebagainya, berpotensi silang pendapat antara peserta pemilu. Mereka dipastikan akan merangkai data yang sudah di-frame terlebih dahulu dan membangun argumentasi yang juga logis yang bisa jadi sebagai pembenaran. Untuk itu, peserta pemilu sejatinya hanya mempertajam programnya tanpa menyinggung kekurangan atau kelemahan program kompetitornya. Kedua, jika terjadi serangan dalam bentuk hoax, ujaran kebencian, dan sebagainya melalui berbagai saluran komunikasi, terutama sosial media, kepada salah satu peserta atau paslon, maka sejatinya kompetitornya yang boleh jadi diuntungkan dengan issu tersebut maju ke depan menjelaskan. Bila perlu membelanya dengan narasi yang menyejukkan. Misalnya, paslon Z diserang issu yang merugikannya, sejatinya paslon X yang membelanya sembari mejelaskan bahwa mereka tidak mau menang di tengah hiruk-pikuk penyebaran hoax, ujaran kebencian, ekploitasi SARA dengan berbagai bentuk. Jadi, tidak boleh ada pembiaran sekalipun paslon yang bersangkutan diuntungkan. Ketiga, dalam susunan masing-masing timses, sebaiknya juga membuat sebuah sub tim, yaitu tim kritikus. Anggota tim ini benar-benar menguasai bidangnya, menyajikan data, membuat argumentasi yang rasional dan terutama menyejukkan. Tim ini bertugas memberikan kritikan terhadap gagasan, ide dan program dari kompetitor secara objektif. Ini sebagai fungsi pendidikan dan tuntunan politik bagi masyarakat. Tim kritikus ini, sangat urgent dibentuk. Menurut pengamatan saya, acapkali politisi yang belum “matang” dan haus kekuasaan memberikan kririk terhadap kompetotir asal kririk, bahkan seringkali tidak berbobot, tidak disertai data yang kuat, sehingga berpotensi meninbulkan polarisasi dan gesekan sosial di tingkat akar rumput. Tontonan semacam ini sangat tidak baik dilihat oleh masyarakat. Empat, menghindari kalimat bersayap dan atau menggunakan simbol komunikasi yang multi makna. Kalimat bersayap, misalnya, “kami lebih nasionalis”. Kalimat ini sangat bersayap, seakan menempatkan kopetirornya pada tingkat nasionalisme yang lebih rendah daripadanya tanpa menyajikan ukuran nasionalisme itu sendiri. Ini tidak baik. Sejatinya dikatakan, \"kami nasionalis”. Sedangkan simbol komunikasi multi makna, misalnya, “bila ingin perubahan pilihlah paslon Z. Narasi ini bisa dimaknai memposisikan paslon lain seakan anti perubahan. Padahal, sama sekali tidak ada fenomena sosial yang statis. Ini sangat tidak produktif. Sejatinya menggunakan narasi yang menawarkan program-progamnya. Biarkan rakyat yang menilai, apakah itu sebagai perubahan atau tidak. Lima, perlu dilakukan pertemuan secara periodik, setidaknya jika terjadi situasi politik yang semakin menghangat di tingkat akar rumput, anta elit politik sebagai suatu sarana komunikasi silahturahmi kebangsaan. Acara bisa di-setting dalam bentuk “Minum Kopi dan Makan Goreng Singkong Bersama” atau “Bermusik Bersama,” tanpa membicarakan materi politik sama sekali yang diselenggarakan di beberapa tempat yang berlainan di Indonesia yang diliput oleh berbagai media massa. Di tingkat pusat, komunikasi silahturahmi antar paslon, antar ketua tim sukses, antar juru bicara, antar tim kritikus, dan antar ketua patai. Hal yang sama dilakukan di tingkat propinsi, kabupaten dan kota sesuai dengan kedudukan dan funsi mereka antar masing-masing. Enam, menurut hemat saya tampaknya perlu dibentuk dewan etika kampanye pemilu 2019. Sebab, banyak hal perilaku komunikasi politik yang belum dapat disentuh hukum positif. Tugas dewan ini mengkaji dari sudut etika terhadap semua perilaku komunikasi politik yang dilakukan oleh semua peserta pemilu sepanjang kurun waktu kampanye. Selain itu, dewan ini berfungsi mengingatkan para perserta pemilu yang disuga melakukan pelanggaran etika. (fin)

Tags :
Kategori :

Terkait