Saya tahu, si wartawan juga segan --sudah tengah malam. Bisa dianggap mengganggu orang tidur.
Tapi si wartawan juga tahu watak saya. Kalau ia tidak mau berangkat, saya akan berangkat sendiri.
Saya merasa tanpa tambahan wawancara berita tersebut terasa ada yang \'bolong\'. Pembaca akan kecewa kalau \'lubang\' itu tidak ditutup.
Si wartawan pun berangkat. Tentu hatinya berat. Tapi ya begitulah jadi wartawan.
Ia berhasil. Saat kembali ke kantor saya tepuki pundaknya. Saya berteriak keras di ruang redaksi itu. \"Teman kita berhasil,\" --agar yang lain ikut bangga padanya.
\"Saya harus mengetuk pintu rumahnya lama sekali,\" katanya sambil senyum penuh kebanggaan.
Kemarin, saat saya mau mewawancari Santo itu, saya ingat kembali wartawan itu. Saya ingat ekspresi wajahnya. Dan body language-nya. Terutama saat dengan berat ia toh berangkat juga. Dan berhasil.
Belum ada ponsel saat itu.
Sekarang sudah enak. Kalau pun saya berhasil mewawancari Santo, tetap kalah dengan wartawan itu. Saya kan tidak perlu naik motor ke California. Saya juga tidak perlu mengetok-ngetok pintu rumah Santo Purnama.
Saya tinggal kirim WA untuk memperkenalkan diri. Disertai satu pertanyaan pembuka.
\"Hi Pak Dahlan. Salam kenal,\" jawab Santo Purnama seketika itu juga.
Lega.
Saya tidak akan ditertawakan mantan wartawan saya.
Ada tekniknya: pertanyaan pertama wartawan harus seperti apa. Agar sumber berita mau merespons.
Teknik itu saya rahasiakan di sini --tapi Najwa Shihab tahu itu. Senior saya di TEMPO, Karni Ilyas, juga tahu itu.
Maka Santo pun menjawab WA saya itu.