BUDAYA Tiongkok klasik mengajarkan manusia untuk selalu "谦虚" (qiān xū): merendah. Andhap asor. Tidak boleh petantang-petenteng.
Ojo adigang, adigung, adiguna, kalau kata falsafah Jawa. Jangan menyombongkan kekuasaan, kekayaan atau kepintaran.
Seperti ungkapan Belanda, "Hoogmoed komt voor de val" (kesombongan adalah tanda kejatuhan sudah dekat).
Karena itu, ketika menyampaikan pendapat, orang Tiongkok/Tionghoa biasanya mengawali/mengakhirinya dengan "抛砖引玉" (pāo zhuān yǐn yù).
Kira-kira artinya, melempar bata untuk mendapat giok. Maksudnya, meski opininya bermutu, tapi si pembicara tak menganggapnya begitu.
Justru, yang diharapkannya adalah pandangan atau bahkan kritik dari orang lain, yang baginya jelas jauh lebih berbobot.
"Cheng yu ini menggunakan kata bata dan giok. Selain mencerminkan sikap rendah hati dari budaya Timur, juga hendak mengajak kita untuk menghargai karya dan pendapat orang lain. Jangan sekali-kali merasa dirinya paling super, sehingga menjadi arogan, suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain," kata Jimmy Sutanto.
Jimmy alias Chen Qiming 陈启明 tak lupa menyatajan, mohon kritiknya, sebelum menjelaskan makna pepatah favoritnya tersebut.
Menandakan bahwa Anggota Dewan Pembina Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Daerah Istimewa Yogyakarta mengamalkannya. Meski pengalaman dan ketokohannya tidak perlu diragukan lagi.
Selain PSMTI, Jimmy juga memimpin organisasi sosial-budaya lainnya. Seperti Jogja Chinese Arts and Culture (JCACC) yang tiap tahun rutin menggelar Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta itu. Jimmy menjadi ketua I.
Jimmy juga memimpin Perhimpunan Fuqing Yogyakarta. Termasuk Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Tionghoa Yogyakarta yang aktif memberikan beasiswa kepada para pelajar berprestasi untuk studi ke Tiongkok.
Begitulah Jimmy. Ia mengerti betul, seperti dituliskan dalam kitab Shu King (书经), "满招损, 谦受益" (mǎn zhāo sǔn, qiān shòu yì).
Angkuh merugikan, tawaduk menguntungkan. (*)