Sungguh saya sangat kagum dengan kecepatan beliau menulis.
Mungkin bisa saja saya menulis seperti itu. Namun saya butuh waktu 3 jam. Itupun nilainya maksimal hanya 7.
Sementara Mas Bambang hanya butuh waktu 30-45 menit saja untuk sebuah tulisan yang bernilai 9 itu.
Saat menjawab pertanyaan itulah akhirnya Sumpah Palapa saya keluar. "Saya tidak akan menulis di Radar Lampung selagi Buras Mas Bambang masih ada." Saya pun tidak merinci alasan saya itu.
Sebenarnya ini alasan utama saya.
Saya yakin tulisan saya masih sangat jauh kualitasnya dengan Mas Bambang.
Andaikan saya juga menulis, pembaca akan membanding-bandingkannya. Yoo pasti kalaah, mengutip syair lagi Farel yang terkenal itu.
Kini, Mas Bambang sudah tak menulis lagi. Beliau sudah wafat 3 bulan lalu.
Namun, dunia wartawan akan mencatat prestasi beliau dengan tinta Emas.
Almarhum adalah wartawan sejati. Meski menderita sakit berat tetap saja menulis sampai akhir hayatnya.
Doa saya, semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal ibadah. Dan karyanya memberikan inspirasi dan motivasi bagi para wartawan untuk terus melahirkan karya jurnalistiknya.
Pada suatu kesempatan, saya memang sempat diminta oleh almarhum untuk terus menulis.