Hal itu dilakukan untuk mendapatkan sebuah cambuk yang kuat, lentur, dilengkungkan tidak akan patah, dan dapat dilecutkan secepat kilat dengan mudah.
Kemudian, penari Tiban terdiri dari 2 orang dan masing-masing memegang cambuk dari lidi daun aren.
Ke 2 penari yang bertelanjang dada tersebut kemudian saling mencambuk secara bergantian dengan diiringi gamelan Jawa.
Penari yang mendapat giliran dicambuk mengenakan pelindung kepala berupa helm.
BACA JUGA:Terima Lagi Saldo DANA Kaget Gratis Rp 153 Tanpa Modal Apapun, Buruan Cek Notifikasi
Tarian itu, diawasi 2 wasit, itu agar para penari tidak mengalami cidera.
Diolah dari berbagai sumber, ada sejumlah versi tentang asal-usul kesenian Tiban. Versi pertama, kesenian Tiban berasal dari Desa Wajak Kidul Kabupaten Temanggung Jawa Timur. Yaitu, pada masa Adipati Nilo Suwarno atau Surontani II di Katemenggungan Wajak.
Surantani II adalah cucu dari Ki Juru Mertani salah satu tokoh yang ikut mendirikan Kerajaan Mataram Islam bersama Panembahan Senopati atau Sutawijaya.
Sejarah berawal ketika penobatan Surantani II yang dihadiri Panembahan Senopati.
BACA JUGA:Dampak El Nino Terasa! Lampung Barat Terancam Krisis Air Bersih
Pada saat penobatan itu, beredar isu yang menyebutkan putri Surontani II yang bernama Dewi Roro Pilang telah dinodai Panembahan Senopati.
Tidak terima dengan perbuatan itu, Surontani II menggelar pertunjukan adu kekuatan yang bertujuan sebagai hiburan rakyat sekaligus mencari calon prajurit.
Pertunjukan adu kekuatan tersebut digelar saat wilayah Wajak sedang musim kemarau panjang.
Merasa kepanasan saat menonton pertunjukan itu, warga memohon kepada tuhan agar turun hujan.
BACA JUGA:Hasil Audit Keluar, Kasus Perjalanan Dinas DPRD Tanggamus Rugikan Negara Rp 9 Miliar
Ternyata, setelah pertunjukan langsung turun hujan. Sejak saat itu, setiap terjadi musim kemarau, masyarakat menggelar kesenian adu kekuatan yang kini disebut Tari Tiban.