Banjir Sumatera Ungkap Lemahnya Pengelolaan Sumber Daya Air, Akademisi Teknokrat Ingatkan Ancaman Berulang

Sabtu 06-12-2025,15:28 WIB
Reporter : Melida Rohlita
Editor : Melida Rohlita

RADARLAMPUNG.CO.ID— Rentetan banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25–30 November 2025 kembali menjadi alarm keras bagi Indonesia. 

Peristiwa yang memakan korban jiwa, merusak rumah warga, hingga memutus akses antarwilayah itu dinilai bukan hanya akibat faktor cuaca ekstrem, tetapi juga cermin dari pengelolaan sumber daya air (SDA) yang selama ini diabaikan.

Pandangan ini disampaikan Dr. Ir. Lilik Ariyanto, S.T., M.T., I.P.M., ASEAN Eng., Dosen Teknik Sipil Universitas Teknokrat Indonesia. Menurutnya, bencana besar di Sumatera harus dipahami sebagai konsekuensi dari rusaknya keseimbangan alam dan lemahnya tata kelola wilayah sungai di Pulau Sumatera, yang luasnya mencapai 473.481 km² dan dihuni lebih dari 56 juta jiwa.

“Pulau Sumatera memiliki 59 wilayah sungai yang tersebar di seluruh provinsi. Ini merupakan potensi luar biasa, tetapi sekaligus tanggung jawab besar. Ketika wilayah sungai tidak dikelola dengan benar, banjir bandang seperti yang kita lihat pada akhir November lalu menjadi keniscayaan,” jelasnya.

Dalam perspektif pengelolaan SDA, banjir merupakan bagian dari pilar utama Pengendalian Daya Rusak Air (DRA).

Analisis terhadap potensi banjir tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus memperhitungkan berbagai parameter yang saling terkait.

Dr. Lilik menyebut beberapa faktor yang selama ini kurang diperhatikan, antara lain:

Tingkat curah hujan dan perubahan iklim

Degradasi daerah resapan, terutama kawasan hutan dan ruang terbuka

Perubahan penggunaan lahan di sepanjang DAS

Topografi DAS yang rentan

Selain itu, Menurunnya kapasitas tampung sungai, Penyempitan sungai akibat permukiman dan aktivitas ekonomi, Lemahnya penegakan hukum di area sempadan sungai dan kawasan lindung

“Jika salah satu parameter ini terabaikan, maka debit banjir akan meningkat dan daya rusaknya membesar. Limbah kayu, lumpur, hingga bongkahan material besar pada banjir kemarin menunjukkan bahwa kerusakan DAS telah berlangsung lama,” ujarnya.

Menurutnya, bencana seperti yang terjadi di Aceh, Sumut, dan Sumbar tidak cukup ditangani dengan pendekatan darurat. Diperlukan sistem komando lintas sektor yang bekerja bukan hanya saat bencana, tetapi sejak fase pencegahan hingga pemulihan jangka panjang.

“Tanpa koordinasi antarkementerian, pemerintah daerah, akademisi, masyarakat, dan dunia usaha, kerusakan akan terus terjadi. Dampaknya tidak sekadar rumah hanyut, tetapi hilangnya pusat permukiman, putusnya aktivitas ekonomi, hingga perubahan bentang alam,” tegasnya.

Kategori :