Iklan Bos Aca Header Detail

3.500 ODGJ Masuk DPT

3.500 ODGJ Masuk DPT

RADARLAMPUNG.CO.ID – Keputusan KPU memasukkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di daftar pemilih tetap (DPT) patut diapresiasi. Pandangan negatif terhadap kelompok disabilitas secara mental selama ini sering bermunculan. Padahal, mereka memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara pada umumnya. Termasuk dalam penggunaan hak pilih.

Sebenarnya bukan kali pertama penyelenggara pemilu mengikutsertakan para ODGJ dalam pemilu. Sejak 1955, para ODGJ bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih pemimpin negara. Hal tersebut didasarkan kepada regulasi yang berlaku. Itu suatu bentuk inklusivitas pemerintah dalam mengembangkan pendekatan berbasis hak asasi kepada warganya yang menyandang disabilitas. Termasuk para ODGJ.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Eka Viora mengatakan, kekhawatiran masyarakat terhadap ODGJ sangat tidak beralasan. Jika dibandingkan dengan warga pada umumnya, tingkat bahaya yang diberikan melalui interaksi dengan ODGJ sebenarnya sama saja.

Bahkan, kemungkinan terjadinya kerusuhan pada hari pemungutan suara yang disebabkan para ODGJ dinyatakan minim. “Saat ini lebih banyak ODGJ yang justru menjadi korban kekerasan,” terangnya, kemarin (8/4).

Salah satu contoh bentuk kekhawatiran lainnya adalah munculnya anggapan bahwa para ODGJ bisa diarahkan. Ketakutan itulah membuat masyarakat merasa waswas. Kekahwatiran lainnya, ada peserta pemilu sengaja mendoktrin ODGJ untuk memilih mereka.

Padahal, menurut Eka, masih banyak lapisan masyarakat lainnya yang lebih rentan dimanipulasi. Salah satu contohnya adalah mereka yang tingkat pendidikan dan ekonomi berada di bawah rata-rata. “Hak pilih kan bersifat rahasia,” tambah Eka.

Penetapan boleh tidaknya seorang ODGJ memilih tidak didasarkan kepada diagnosis dokter, namun dari pengertian ODGJ sendiri. Selama masih memiliki tujuan, kenapa mereka harus memilih. Penyelenggara pemilu wajib memenuhi hak mereka seperti kepada warga pada umumnya.

Sebab, keputusan tersebut dikaitkan dengan fungsi kognitif, pengendalian agresivitas, dan perilaku yang senorma dengan masyarakat pada umumnya. “Tapi, hak itu juga tidak bisa dipaksakan jika mereka tidak memungkinkan memilih atau tidak bersedia memilih,” lanjut Eka.

Untuk itu, Eka meminta para psikiater yang ada di Indonesia untuk melakukan sosialisasi. Terutama kepada warga di lingkungan mereka bahwa ODGJ memilih merupakan hal yang lumrah. Sebab, ada perundang-undangan yang mengatur tentang iru. Eka juga mengimbau penyelenggara pemilu dan instansi terkait semakin getol memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hak pilih para ODGJ harus dihormati layaknya warga pada umumnya.

Salah satu caranya, mendata ODGJ yang terdaftar di DPT. Hingga saat ini, tercatat 3.500 ODGJ yang masuk DPT. Menurut Eka, angka tersebut masih lebih rendah daripada perkiraan awal. Apalagi jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah ODGJ di Indonesia. Menurut data yang dihimpun pada 2018, tercatat 500 ribu warga masuk kriteria ODGJ.

Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu wajib mengawasi dan memberikan hak yang dibutuhkan. Juga melakukan pendataan paling update tentang berapa saja ODGJ yang bisa dan mau memilih. Mengawasi surat suara yang diperuntukkan para ODGJ benar-benar diterima dan mencegah terjadinya penyalahgunaan atau perlakuan salah yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

“Memberikan hak pilih kepada ODGJ ini merupakan bagian penting dalam upaya mengurangi stigma, mendorong rehabilitasi, dan integrasi ODGJ agar dapat diterima kembali di masyarakat,” jelas Eka. (fin/kyd) [caption id=\"attachment_59145\" align=\"alignnone\" width=\"300\"]\"\" foto ilustrasi[/caption]

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: