Iklan Bos Aca Header Detail

50 Persen Publik Tidak Tertarik Nonton Debat

50 Persen Publik Tidak Tertarik Nonton Debat

RADARLAMPUNG.CO.ID – Pengamat Politik dari CSIS, Arya Fernandes, mengatakan, dari hasil survey dalam debat pertama maupun ke dua, pihaknya mencatat hanya 50 persen ekspektasi publik untuk menonton debat dan hampir semuanya menyaksikan sampai pada sesi terakhir. Melihat hal tersebut, Arya mengingatkan kepada semua timses baik BPN maupun TKN, untuk lebih memahami masyarakat dimana berharap agar kualitas debat serta pemaparan materi baik dari calon presiden dan wakil presiden nanti dapat lebih maksimal dan memuaskan masyarakat. “Kalau kita lihat dari hasil yang kami rset terlihat bahwa, ekpektasi publik yang tinggi itu tidak terpenuhi dengan baik. baik pada debat pertama maupun juga pada debat yang kedua. indikasinya adalah orang ekspektasi nonton debat tinggi, tetapi ketika dilihat dalam hasil survei itu pengaruhnya kecil. artinya debat itu tidak mampu untuk mempengaruhi pilihan orang terutama orang-orang yang belum menentukan pilihan, atau orang-orang yang masih ragu-ragu atau bimbang, harusnya idealnya tentu bisa menjadi referensi utama bagi publik untuk menentukan pilihan sehingga dia betul-betul mantap untuk memilih, apalagi pemilu kita hanya tinggal 30 hari lagi,” kata Arya di Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/3) Lebih jauh, Arya memaparkan, Kenapa debat menjadi penting dan kenapa kita perlu tagih kepada kedua kandidat, yang pertama menurut Arya, sebagai pemilih sudah jenuh, kampanye yang panjang, kemudian sisi inovasi yang tidak muncul dengan kuat yang dapay tangkap dalam debat pertama dan kedua. disaat yang sama publik partisifasi oflinenya itu juga relatif mengalami penurunan dibanding dua pemilu sebelumnya. “Orang menunggu sekali debat ini, kalau debat tidak mampu untuk menghadirkan sesuatu yang baru, orang tentu akan menjadi kecewa dan akan berdampak kepada partisifasi pemilih kita. Kedua adalah di kedua kandidat terjadi satu konndisi sama-sama terjadi ketidak pastian , ketidak pastiannya adalah , 01- masih akan tembus ke angka 60 persen atau tidak, sementara 02 belum pasti, apakah dia kan mampu mendekati perolehan suara atau tidak,” terang Arya. Ditengah ketidak pastian ini, lanjut Arya menambahkan, momen debat harus dimanfaatkan oleh kedua kandidat untuk benar-benar mencuri pemilih. Jika dilihat pada debat pertama dan kedua harusnya penantang lebih agresif, karena mereka punya banyak peluru untuk menyerang pertahana, tetapi mereka kehilangan momentum untuk menggunakan peluru peluru itu dengan baik. “Saya tidak tahu apakah peluru itu akan disiapkan pada Last minit pada debat ke-empat dan kelima. Kita tak melihat dengan baik, bagaimana terjadi penghilangan gagasan di debat itu, karena orang berdebat tentu ada perdebatan, kita tak melihat ada perdebatan itu, saya tak tahu apakah karena sungkan-sungkan itu atau ada faktor lain,” terangnya. Jika dilihat isunya, sambung Arya sebenarnya penantang lebih punya banyak peluru, tanya soal tenaga kerja, soal kesehatan, banyak isu isu kesehatan misalnya soal BPJS, soal tenaga honorer kesehatan misalnya , soal pendidikan juga begitu, guru honorer kenaikan gaji PNS , sebenarnya bisa di kontestasikan dengan pertahana ketika debat,” bebernya. “Petahana juga punya banyak program yang bisa dijual, misalnya kartu Indonesia pintar, Kartu Indonesia Sejahtera (KIS) soal Program Keluarga Harapan (PKH). posisinya dalam debat nanti diperkirakan seimbang, ada peluru untuk menyerang ada juga peluru untuk bertahan tergantung siapa yang bisa lebih mampu untuk memberikan perspektif yang baik kepada pembeli dan meyakinkan pemilih bahwa mereka baik,” terangnya. Sementara untuk Isu pemilih Perempuan, menurut Arya adalah hal penting, hal tersebut dilihat dari data Pilkada tingkat partisipasi perempuan 164 Pilkadanya 171, tapi data yang di publik KPU 164. Jika diambil agrekatnya tingkat partisipasi perempuan 75 persen, laki-laki tingkat partisipasinya itu 71 persen “Artinya perempuan partisipasi mereka tinggi dan menurut saya perempuan juga lah yang nanti akan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kandidat harus membahas isu perempuan dan kita tidak mendengar kedua kandidat bisa bicara isu perempuan, misalnya bagaimana akses perempuan terhadap kesehatan, isu soal reproduksi perempuan, keselamatan angka kelahiran Ibu misalnya , atau akses pada ekonomi. Nah kalo ada kandidat yang bicara debat tentang isu perempuan akan mendapatkan atensi perempuan, dan perempuan perempuan juga harus tagih kepada kandidat ini, apa yang mereka perjuangkan para ibu ini,” tutup Arya. Pemaparan lain, justru disampaikan oleh Politikus PDIP Eriko Sotarduga, menilai bahwa, ada peningkatan dalam kualitas debat kandidat capres dan cawapres akhir-ahir ini. Meski dirinya mengakui berdasarkan hasil survei debat pertama hanya disaksikan oleh 50,6 persen masyarakat. Namun, lanjut Eriko menyampaikan hasil survey dari debat pertama tersebut justru memiliki hasil positif dimana mencerminkan bahwa masyarakat kini sudah cerdas, dewasa dan memahami bahwa debat kemarin kurang begitu menarik. ” Tetapi pada debat kedua sudah berbeda, jauh lebih menarik daripada debat pertama, tetapi apakah ini sudah seperti yang diinginkan masyarakat di Indonesia , saya harus jawab belum,” kata Eriko. (fin/kyd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: