Iklan Bos Aca Header Detail

Ketabuan Masih Menjadi Tantangan Pencegahan Kehamilan Remaja

Ketabuan Masih Menjadi Tantangan Pencegahan Kehamilan Remaja

RADARLAMPUNG.CO.ID - Kehamilan remaja sudah semestinya menjadi isu yang mendapat perhatian khusus, baik di tingkat nasional maupun internasional. Melahirkan pada usia remaja dapat mengarah pada rendahnya tingkat pendidikan. Pada tingkat internasional, kehamilan remaja juga menjadi permasalahan yang pelik. Tak hanya di negara berkembang, melainkan juga di negara-negara maju. Karenanya, beberapa program wajib digulirkan untuk mengatasinya. Koordinator Youth Center Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali Ni Luh Eka Purni Astiti menyebutkan, berdasarkan data UNFPA tahun 2015, secara global, sekitar 12 juta  remaja usia 15-19 tahun dan setidaknya 777.000 remaja usia di bawah 15 tahun melahirkan per tahunnya. Untuk Indonesia, data Susenas (2017) menyebutkan, 2 dari 3 perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun hamil pertama kali juga di bawah usia 18. Lalu, merunut ke Indeks Pembangunan Pemuda Indonesia (2019), persentase remaja yang hamil pada tahun 2018 mencapai 16,67%. “Ini cukup tinggi sekali sebenarnya. Dan sampai saat ini masih juga tinggi masalah-masalah terkait kehamilan remaja,” ucap Eka Puri, dala webinar media fellowship bertopik Kehamilan Remaja yang digagas Rutgers, Jumat (20/8/2021). Eka lantas menjabarkan hasil penelitian organisasi Kisara di tiga kabupaten/kota sasaran survei. Yakni di Denpasar pada tahun 2016, serta Bangli dan jembrana pada 2019. Didapati, remaja di sana secara konsisten memiliki pengetahuan yang baik terkait pubertas. Meliputi menstruasi, mimpi basah, perubahan tubuh, dan hal serupa lainnya. Sayangnya, lanjutnya, hanya sedikit yang memahami terkait proses reproduksi. Seperti dorongan seksual maupun kehamilan. Yang mayoritas di bawah 10%. “Selama ini di pelajaran biologi dikasih tahunya kehamilan terjadi saat sel telur bertemu dengan seperma. Sehingga terkonsep seperti itu aja pada diri ramaja. Tak diberitahu praktikelnya, prosesnya meliputi apa saja. Ini tantangannya terkait dengan ketabuan dan juga kehawatriran para pendidik juga orang tua dalam memberi informasi seperti itu,” sesalnya. Fakta lain, hanya sedikit yang memahami risiko perilaku seksual. “Misalnya inveksi seksual, prilaku kekerasan seks, dan hal lainnya. Padahal remaja harus tahu,” ucapnya. Eka menambahkan, yang harus digarisbawai adalah, tak perlu tabu dalam membicarakan seksualitas. Di mana terkadang pendidikan seksualitas justru dianggap dapat mendorong berhubungan seksual. Padahal, kata dia, permasalahan yang sistemik harus diatasi dengan solusi yang sistemik! Masalah yang sangat mungkin terjadi dari kehamilan remaja adalah depresi pasca melahirkan. Diikuti dengan low selfworth, anxiety, hingga menyakiti diri sendiri. Menyikapi hal itu, peran layanan kesehatan seksual reproduksi lantas sangat dibutuhkan. Dimulai dari upaya pencegahan. “Pihak terkait harus memberikan informasi dan edukasi KSR. Khususnya terkait perilaku seksual berisiko, kontrasepsi, dan layanan yang ada,” ucapnya. Diikuti dengan penyediaan layanan kesehatan yang ramah remaja. Dalam hal ini, wajib adanya konseling. Termasuk rujukan layanan lain yang diperlukan. Harapannya, remaja tak bingung kepada siapa mereka bisa bercerita tentang keluhannya. Kepada mereka yang telah menjadi korban, upaya pemulihan harus diberikan secara maksimal. Meliputi pelayanan kesehatan bagi perempuan hamil, juga termasuk pada fase pasca melahirkan. Dengan tetap mengontrol kesehatan fisik dan juga psikis,” pesannya. Dalam webinar ini, Field Officer Power to You(th) Rutgers WPF Indonesia Riki Ramdani turut menjadi pembicara. Menurutnya, kehamilan remaja identik dengan perkawinan anak, yaitu menikah pada usia kurang dari 19 tahun. Riki mengingatkan, data Riskesdas pada 2018 menyebutkan, proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 58,8% dan 25,2% sedang hamil di Indonesia. Tentu, ini bukanlah persentase yang bisa dipandang sebelah mata. Beranjak ke tahun 2019, BPS menyebutkan 1 dari 9 anak perempuan usia 20-24 di Indonesia menikah di usia kurang dari 18 tahun. Menilik ke tahun-tahun sebelumnya, data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan, 48 orang dari setiap 1.000 remaja putri usia 15-19 tahun sudah melahirkan. Di mana, sebagian besar remaja 15-19 tahun berpendapat usia ideal pernikahan masih kurang dari 20 tahun. Padahal, anemia sering terjadi pada ibu hamil di usia itu. “Riskesdas tahun 2018 menyebutkan, Sebanyak 84,6% anemia pada ibu hamil terjadi pada kelompok umur 15-24,” sebut Riki. Ia turut membeberkan data tren kehamilan remaja di wilayah intervensi Power to You. Di Jawa Barat, tahun 2019 sebanyak 21.499 remaja usia 16-19 tahun menikah. Demikian ungkap Riki mengutip penyampaian PPT Kabid PPM Jawa Barat di tahun itu. “Di Jawa Barat, proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 56,92% dan 26,87% sedang hamil di Indnesia,” ucap Riki berlandaskan Riskesdas Provinsi Jawa Barat, tahun 2018. Lalu di Jawa Timur, sambung dia, penyampaian PPT DP3AK Provinsi Jawa Timur menyebutkan, tahun 2020 sebanyak 302.684 mengajukan dispensasi perkawinan. “Kalau sudah menyebut dispensasi perkawinan tentu berkaitan dengan usia yang belum cukup sebagai syarat untuk menikah,” terangnya. Di mana, Riskesdas Jawa Timur tahun 2018 menyebutkan, proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 52,33% dan 22,02% sedang hamil di Indnesia. Beralih ke NTB, Menurut Riki berdasarkan *penyampaian PPT DP3AP2KB Provinsi NTB, 56,23% perkawinan usia 15-19 di Lombok Tengah dan 53,15% Timur 2020. Di mana, Riskesdas 2018 NTB menyebutkan, proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 67,03% dan 30,80% sedang hamil di Indnesia. Lalu, apa saja fenomena dan penyebab kehamilan remaja? Selain pendidikan kespro dan seks tidak aman, terkadang juga dipengaruhi interpretasi budaya dan kenyakinan. “Kontruksi sosial yang dibangun atas interpretasi budaya dan kenyakinan oleh masyarakat yang terjadi kekeliruan, dapat melanggengkan praktek-praktek berbahaya terhadap kesehatan reproduksi pada remaja,” ucapnya. Support system remaja pun wajib menjadi perhatian. Di mana, orang tua, lingkungan sosial masyarakat, kondisi ekonomi, dan sekolah bisa menjadi sistem pendukung remaja. Tak lupa, sarana dan prasarana layanan kesehatan juga berhubungan dengan fenomena kehamilan remaja. Mengutip data 2014 silam, hanya 31% Puskesmas di Indonesia yang mampu menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). “Tentu dari tahun dan tahun kesiapan untuk memberikan PKPR di Puskesmas harus terus ditingkatkan,” harapnya. Pembicara lainnya, Kader Posrem & Anggota KPAD Lombok Haekal Ardyansyah menuturkan, kehamilan remaja sangat berpengaruh bagi masa depan remaja itu sendiri. Beberapa dampak dari kehamilan remaja di antaranya adalah putus sekolah. Dan hal itu juga, kata dia, bisa menjadikan yang bersangkutan dikucilkan di lingkungan masyarakat. Lalu akan dicap dengan sebutan yang tidak baik. “Dalam kasus ini, tentunya di sini masyarakat perlu diberikan pemahaman, sekaligus menjadi support sistem bagi remaja tersebut,” ucapnya. Selain itu, menurutnya khamilan remaja juga mengakibatkan dampak buruk bagi ibu dan anak. Di antaranya kurangnya gizi yang didapatkan oleh ibu maupun sang bayi. “Nah, kurangnya gizi ini yang mengkibatkan nantinya anak tersebut terlahir stunting, cacat, dan lainnya. Bisa juga mengakibatkan kematian pada sang ibu,” ucapnya. Dan jika nantinya si remaja ini jadi ibu, dia masih memiliki pengetahuan yang kurang pemahaman tentang nutrisi apa saja yang harus diberikan ke sang bayi. Serta kurangnya pengetahuan terkait pola asuh sehingga mempengaruhi kehidupan sang anak nantinya. “Di sini tugas kita yang paling utama adalah menajdi support sistem untuk mereka. Bukan malah men-judge mereka. Selain itu kita juga memberikan saran untuk keputusan terbaik yang bisa mereka pilih. Kita berikan pilihan-pilihan yang baik yang nantinya mereka yang menentukan,” tukasnya. (sur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: