Ketika Perselingkuhan Dimejahijaukan

Ketika Perselingkuhan Dimejahijaukan

GAYA hidup baru yang memunculkan jenis-jenis keviralan absurd di media sosial semakin menerabas batas privasi kehidupan pernikahan. Media curhat seputar pernikahan, konflik rumah tangga hingga perselingkuhan begitu mudah ditemui. Bahkan dengan terang-terangan si pembuat status membuka kolom komentar kepada followersnya di media sosial. Menurut survey yang dilakukan oleh  JustDating, sebuah aplikasi pencari teman kencan  daring, menemukan bahwa 40% pasangan di Indonesia pernah selingkuh. Indonesia berada diperingkat dua sebagai Negara dengan persentase selingkuh terbesar di Asia (http://www.prambors.com) Semakin terbukanya ruang privat dalam ranah publik yaitu media sosial semakin menunjukan betapa rapuhnya komitmen pernikahan.bahwa kesakralan pernikahan dipertanyakan, pernikahan hanya dianggap sebuah formalitas, hanya sebuah ceremonial yang tidak memiliki roh. Sebuah kasus perselingkuhan yang viral dan fenomenal, dinovelkan dan kemudian diangakat dalam sebuah tayangan series berjudul “Layangan Putus” menghasilkan reaksi dan respon yang sangat emosional. Dimana kisah ini begitu laku di pasaran. Dengan dramatisasi tertentu, semakin mendorong anggapan bahwa perselingkuhan begitu lazim terjadi. Dengan kelaziman ini justru tidak memberikan efek jera. Tidak memberikan sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum bagi pelaku perselingkuhan. Kasus perselingkuhan perzinahan atau dikenal dalam istilah hukum dengan mukah (overspel), sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 284 KUHP. (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1.a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;

  1. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.
2.a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
  1. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja atau ranjang karena alasan itu juga. (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, pasal 73, pasal 75 KUHP (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami/isteri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja atau ranjang menjadi tetap. Pasal ini mengatur tentang perzinahan, atau yang biasa disebut mukah (overspel). Perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan dimana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. agar bisa dijerat dengan pasal ini, perzinahan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Dalam pasal ini dibedakan antara mereka yang tunduk pada Pasal 27 BW (orang Eropa dan yang dipersamakan) dengan mereka yang tidak tunduk (orang yang beragama Islam). Pasal 27 BW mengatakan, seorang laki-laki hanya boleh menikah bersama seorang perempuan atau sebaliknya. Mereka yang tunduk pada pasal ini tidak boleh berzina dengan orang lain. Jika melakukan perzinahan, berarti dapat dipidana. Ancaman hukuman dalam pasal 284 KUHP adalah 9 (Sembilan) bulan penjara. Jika seseorang dihukum lima bulan, berarti hakim melihat ada unsur yang membuat pelaku tak perlu dihukum maksimal. Dengan hukuman seberapapun, jaksa atau terhukum berhak mengajukan banding. Tidak ada jaminan bahwa apabila terdakwa divonis bebas, jaksa tidak akan banding. Kalau sudah masuk proses hukum di Pengadilan, tentu saja semua hak dapat dimanfaatkan oleh para pihak. Kelak, bila hakim banding menjatuhkan putusan maksimal, Terpidanapun berhak mengajukan kasasi. Bukan berarti kasus mukah yang diatur pasal 284 KUHP harus bergulir sepenuhnya ke meja hijau. Tindak  pidana yang diatur pasal ini adalah delik aduan yang absolut. Artinya, pelaku tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan. Dalam kasus ini. Apabila pihak yang dirugikan, suami/isteri sudah membuat pengaduan ke polisi. Meskipun demikian, pengaduan dimaksud tetap dapat dicabut asalkan selama perkara ini belum diperiksa di muka persidangan. Dengan kata lain, karena perkaranya sudah dilimpahkan jaksa ke pengadilan, maka pencabutan pengaduan oleh suami/isteri (penggugat) tidak bisa mempengaruhi perkara. Mungkin saja, hakim menjadikan pencabutan aduan itu sebagai unsur yang meringankan. Sifat lain yang perlu dicatat dari pasal 284 KUHP adalah perkara tidak boleh dibelah. Maksudnya, apabila A (suami/isteri) mengadukan B (suami/isteri) telah berzina dengan pria/wanita lain (C), maka A tidak boleh hanya mengadukan C dengan alasan masih sayang kepada suaminya/isterinya. Pelaku permukahan, dalam kasus ini B dan C, harus sama-sama diproses hukum. Bahwa kemudian jaksa tidak menuntut B ke muka persidangan, itu merupakan hak oportunitas jaksa untuk mengesampingkan perkara. Jika dikaitkan dengan kemungkinan perceraian. Berdasarkan pasal 284 ayat (5) KUHP, jika suami/isteri tunduk kepada Pasal 27 BW (burgerlijk wetboek), maka pengaduan harus diindahkan sebelum terjadi perceraian suami-isteri. Artinya, sebelum perkara pidana diproses, si pengadu/pelapor harus terlebih dahulu mengajukan gugatan cerai atau pisah ranjang kepada suaminya/isterinya. Kalau tidak ada gugatan perceraian, dakwaan jaksa dinyatakan tidak dapat diterima atau menjadi batal karena tidak memenuhi syarat formil. Pandangan ini pula yang selama bertahun-tahun dianut oleh Mahkamah Agung (vide putusan MA No. 1080 K/Pid/1987 tanggal 27 September 1989). Namun pandangan ini sudah mulai ditinggalkan ketika MA menangani sebuah kasus, dimana seorang perempuan PNS melakukan mukah dengan pria lain. Si suami memang melaporkan isteri dan pasangan mukahnya ke polisi, tetapi tidak mengajukan gugatan cerai (kasusnya terjadi di Waingapu). Terhadap perkara ini, akhirnya MA mengubah pendirian. MA menyatakan untuk diindahkannya pengaduan atas Pasal 284 KUHP, tidak berarti terlebih dahulu ada perceraian suami-isteri. Pasal 284 KUHP berlaku pula terhadap seorang suami yang tidak tunduk kepada pasal 27 BW. (vide putusan MA No. 135 K/Pid/1988 tertanggal 28 Februari 1990). Oleh Yenni Handayani, S.H. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: