Muhasabah Jelang Puasa  

Muhasabah Jelang Puasa   

 Oleh Asrian Hendi Caya*   Ketika ramadan tiba, orang-orang beriman diseru Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas  orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa (Qs 2: 183). Mengapa orang beriman yang diseru? Bukankah kita lebih akrab dengan istilah orang islam. Identitas keagamaan kita adalah islam.  Dan kita sudah berkomitmen menjadi islam. Belum cukupkah status islam? atau ada beda antara islam dan iman. Orang-orang Arab Badui berkata, \"Kami telah beriman.\" Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah \'Kami telah menyetujui (Islam),\' karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal tindakanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang\" (Qs 49: 14). Ternyata terminologi islam dan iman merupakan tingkatan, dimana iman menunjukkan tingkatan yang lebih luas dan mendalam. Itulah sebabnya, perintah Allah selalu ditujukan kepada orang-orang beriman. Karena, dengan beriman berarti telah yakin sampai kehati akan adanya Allah sehingga siap menerima perintahNya. Dengan demikian, menjelang ramadan ini ada baiknya kita muhasabah (instrospeksi) diri. Apakah kita sudah masuk dalam kategori iman, sebagaimana diseru Allah sehingga kita wajib berpuasa selama bulan ramadan. Hal ini penting karena puasa tidak hanya sekadar menahan perbuatan yang membatalkan puasa sejak matahari terbit (subuh) sampai terbenam (magrib). Hal ini ditegaskan Nabi: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR. Ath Thabraniy). Mengapa demikian? Karena puasa bukanlah tujuan. Justru tujuan puasa adalah agar bertaqwa.  Itulah pentingnya muhasabah menjelang puasa sehingga puasa kita mencapai tujuannya. Ada baiknya dengan muhasabah ini kita mendalami kembali makna islam dan iman. Terkait dengan ini, Umar bin Khattab RA meriwayatkan: “Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah saw. tiba-tiba muncullah seorang laki-laki berpakaian putih dan rambutnya hitam kelam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Lalu duduklah ia di hadapan Nabi, lalu kedua lututnya disandarkan pada kedua lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata, “Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah saw. menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” Orang itu berkata, “Engkau benar.” Kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya. Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang iman, Nabi menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir Allah yang baik atau pun yang buruk.” Orang itu berkata, “Engkau benar.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang ihsan.” Nabi menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” ….. (HR Muslim). Hadis diatas mengesankan bahwa islam mengindikasikan aspek lahir dan iman lebih pada aspek hati (batin). Kembali pada kasus orang Arab Badui diatas, bisa jadi sudah bersyahadat dan masuk islam secara lahir, tapi bila hatinya belum menerima syahadat secara yakin/penuh maka bisa jadi syahadatnya baru formalitas. Dengan demikian, iman mempunyai makna yang lebih luas dan dalam, yaitu menyangkut pemahaman dan kesadaran (substansi). Bicara iman disepakati bahwa unsurnya adalah diyakini dalam hati (tashdiiqun bil qolbi), diucapkan secara lisan (iqroorun bil lisaani), dan diamalkan oleh seluruh anggota badan (amalun bil arkaani). Artinya, pada tingkatan iman sudah terjadi internalisasi (menjadi kesadaran) dan kristalisasi (perbuatan) nilai keberagamaan. Sudah mencapai keterpaduan antara perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan iman, maka pelaksanan puasa akan memenuhi aspek lahir (fisik) seperti tidak makan dan minum sekaligus memenuhi aspek batin (jiwa) seperti menahan amarah dan hawa nafsu. Bahkan puasa sendiri adalah mengalahkan kebutuhan fisik (makan dan minum) untuk memenuhi kebutuhan batin (hati). Kalau sekadar menahan makan dan minum, anak-anakpun yang tingkat kesadaran keagamaannya belum penuh pun dapat menjalankannya. Lalu apa bedanya dengan puasa kita? Dalam hal ini Nabi telah mengingatkan bahwa: Barangsiapa melakukan puasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760). Sementara Allah menegaskan bahwa berpuasa agar bertaqwa (Qs 2: 183). Karena Allah menginginkan agar kita bertaqwa. Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam” (Qs 3: 102). Semoga muhasabah ini dapat menyegarkan kembali keimanan kita sehingga siap secara lahir dan batin menjalankan puasa. Mari kita jalankan puasa ini dengan imanan wahtisaban. Semoga puasa yang kita jalankan menjadikan kita bertaqwa. Insya Allah….(*) *Penulis adalah Peneliti PUSIBAN – Pusat Studi dan Informasi Pembangunan    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: