Seruan Dosen Juga Buruh Menggaung di Momen May Day

Seruan Dosen Juga Buruh Menggaung di Momen May Day

Ilustrasi dosen.-Pixabay-

RADARLAMPUNG.CO.ID - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) memberi pernyataan sikap dan menyerukan dosen harus bergabung rayakan Hari Buruh Sedunia pada Senin, 1 Mei 2023.

“Hari Buruh Sedunia yang jatuh tepat pada hari Senin, 1 Mei 2023, beragam konsolidasi telah dipersiapkan oleh berbagai organisasi buruh. Lantas bagaimana dengan dosen, apakah juga akan mengambil bagian pada momentum Hari Buruh?” ujar Koordinator KIKA Satria Unggul, dalam konferensi pers, dikutip dari laman YouTube resminya.

Menurutnya, setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa dosen-dosen di Indonesia juga harus bergabung merayakan Hari Buruh.

Pertama, dosen juga buruh. Menurut Satria, jika mengutip definisi standar mengenai buruh, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh juncto Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka siapapun yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, ia adalah seorang buruh.

BACA JUGA:Kiamat Sugra dan Kiamat Kubra, Apa Perbedaaannya?

Kata dia, berdasarkan definisi tersebut maka dosen adalah buruh. "Polisi juga buruh, tentara juga buruh, dan para ASN yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan itu pun juga buruh. Kita semua sama, buruh," ucapnya.

Kedua, dosen harus berserikat. Karena berserikat inilah maka dosen harus berhimpun dan belajar bersolidaritas dengan sesama buruh lainnya.

Satria mengutip sejarah John Ingleson dalam buku “Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia pada 1920-an-1930-an” yang mengisahkan bagaimana buruh-buruh di sektor publik, terutama guru, adalah termasuk kelompok orang Indonesia paling pertama yang membentuk serikat.

“Secara umum, pasca 1926 serikat-serikat buruh sektor publik mendominasi gerakan buruh,” ujarnya.

BACA JUGA:Cara Mencegah Demam Berdarah Akibat Terdampak El Nino

Tiga pengorganisiran sektor publik terbesar ketika itu adalah Jawatan Kereta Api, Jawatan Pos, serta Departemen Pendidikan.

Sebagian besar buruh-buruh sektor publik tersebut memiliki tingkat upah yang rendah, ketidakpastian kerja, tanpa tunjangan dan dukungan dana pensiun serta liburan.

“Dan pada tahun 1930-an, lebih dari 40.000 orang Indonesia bekerja sebagai guru sekolah negeri, dimana sebagian besarnya guru desa atau asisten guru dengan upah rendah,” tegasnya.

Satria berujar, ketiga harus bersatu setumpuk persoalan yang kerap dihadapi dosen hari-hari belakangan ini, harus disuarakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: