Lobby Lobby

Rabu 16-10-2019,06:02 WIB
Editor : Widisandika

DI luar negeri kini beredar berita tentang Indonesia: elite politik lagi berusaha mengubah konstitusi. Tujuannya: agar tidak ada lagi pilpres secara langsung. Di pemilu yang akan datang tidak ada lagi pilpres. Presiden kembali dipilih oleh MPR. Menurut berita itu pilpres secara langsung hanya menyebabkan terbelahnya bangsa. Seperti yang terjadi di pilpres barusan. Terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR, La Nyala Mataliti sebagai Ketua DPD, dan Bambang Susatyo sebagai Ketua MPR sebagai pertanda-pertandanya. Menurut berita itu, elite politik sekarang juga lagi berusaha mengurangi kekuasaan Presiden Jokowi. Tidak disebutkan bagaimana cara mengurangi kekuasaan itu. Hanya sedikit disinggung soal akan ditetapkannya GBHN oleh MPR ke depan. Ide pemilihan presiden kembali dilakukan oleh MPR pernah terdengar di masa lalu. Hanya alasan waktu itu cuma soal biaya yang besar. Kini alasan itu ditambah soal yang lebih mendasar: perpecahan bangsa. Pertemuan antartokoh partai politik belakangan ini harus dikaitkan dengan persiapan perubahan konstitusi itu. Termasuk pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDI Perjuangan dan Ketua Umum NasDem. Kalau saja Gerindra sudah sepakat untuk perubahan itu, selesailah. Perubahan itu hampir pasti menjadi kenyataan. Hanya diperlukan 2/3 suara di MPR. Dengan bergabungnya Prabowo, amandemen UUD 1945 akan dilakukan dengan mudah. Saya melihat pergerakan tokoh-tokoh partai belakangan ini dari sisi amandemen itu. Bukan hanya soal bagi-bagi kekuasaan. Meskipun, amandemen UUD itu prosesnya masih sangat panjang dan lama. Belum tentu juga Prabowo mulus jadi satu barisan dengan koalisi pendukung pemerintah. Berita di luar negeri yang saya ikuti ini seperti memberikan simpati pada Presiden Jokowi. Yang dalam pergerakan-pergerakan itu diposisikan sebagai ditinggal sendirian. Bahasa halus untuk dikucilkan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait