Tua vs Muda

Sabtu 11-01-2020,05:07 WIB
Editor : Widisandika

SABTU hari ini Taiwan Pilpres. Sudah tiga hari ini saya di Pulau Formusa itu. Dari Hongkong saya mendarat di Kaoshiung--kota paling Selatan Taiwan. Juga kota terbesar kedua setelah Taipei. Yang lebih penting, dari kota inilah salah satu calon presiden berasal: Han Guo-yi. Ia Wali Kota baru Kaoshiung. Baru setahun lalu terpilih. Ini untuk ketiga kalinya saya ke Kaoshiung. Setelah dua malam di Kaoshiung saya ke Taipei. Kali ini naik kereta cepat--kecepatan maksimumnya 290 Km/jam. Hanya berhenti sekali di Taichung--kota terbesar ketiga di Taiwan. Kali ini saya tidak mampir Taichung. Sudah terlalu sering ke sini. Hanya dalam dua jam kereta sudah sampai Taipei. Kota paling utara di Taiwan. Dua jam itulah panjangnya wilayah Taiwan. Dengan penduduk 24 juta orang. Di Taipei lagi ada keramaian. Kereta bawah tanahnya penuh orang berpakaian warna merah-biru. Juga membawa bendera kecil Taiwan--merah-biru. Mereka berbondong ke Ketagalan Boulevard. Yang di depan istana presiden itu. Di situ lagi ada kampanye terakhir capres Han Guo-yi. Saya ikut larut ke lokasi itu. Saya perhatikan baik-baik bondongan massa ini. Didominasi orang tua. Jarang sekali terlihat anak mudanya. ”Mereka masih bekerja. Habis kerja baru ke sini,\" ujar seorang ibu yang saya tanya. Puncak kampanye itu memang baru jam 19.00 malam. Tapi sejak jam 15.00 jalan-jalan menuju Boulevard sudah ditutup. Sudah penuh dengan massa. Banyak yang mengajak serta anjing mereka ke arena kampanye. Di samping capresnya sendiri, 36 wali kota ikut hadir --termasuk Wali Kota Taipei dan Taichung. Setahun yang lalu, dalam pilkada serentak, Partai Koumintang memang menang telak. Termasuk Han Guo-yi yang menang di Kaoshiung. Dengan modal menang pilkada itulah Koumintang mencalonkan Han. Yang memang mendadak jadi idola. Orangnya dianggap merakyat. ”Han adalah kita\". Hampir pasti Han menang Pilpres. Semua jajak pendapat mengatakan begitu. Itu 9 bulan lalu. Tiga bulan setelah itu meletuslah demo anti-Tiongkok di Hongkong--demonya anak muda dan mahasiswa. Yang berlarut-larut itu. Yang tidak berhenti pun sampai sekarang--selama sudah 7 bulan. Solidaritas anak muda itu merembet ke Taiwan. Sikap anti-Tiongkok menjalar ke sana. Itu sangat menguntungkan lawan Han--yang setahun lalu kalah telak di pilkada serentak. Tsai Ing-wen, wanita yang kalah itu, mendadak naik daun. Dialah simbol sentimen anti-Tiongkok di Taiwan. Itu dia tunjukkan selama menjabat sebagai Presiden Taiwan sejak 5 tahun lalu. Selama Tsai Ing-wen menjadi presiden itulah hubungan Taiwan-Tiongkok sangat tegang. Tiongkok sampai mengetatkan izin kunjungan turisnya ke Taiwan. Ekonomi Taiwan menjadi sulit. Pertumbuhan ekonominya hanya 2,7 persen. Upah buruh memang naik tapi kalah dengan kenaikan inflasi. Tingkat upah buruh sekarang ini hanya sama dengan 16 tahun lalu. Itulah yang membuat orang Taiwan memalingkan idolanya ke Han Guo-yi. Partainya DPP pun kalah total di pilkada serentak. Tapi lantas ada \'rejeki Hongkong\'. Anak-anak muda Taiwan kini memihak ke Tsai Ing-wen. Apalagi wanita pertama yang jadi presiden Taiwan ini berani melawan Xi Jinping. Tahun lalu, dalam pidato tahun barunya, Xi Jinping memang menyinggung soal Taiwan. Yang harus menerima konsep Satu Negara Dua Sistem. Seperti Hongkong. Yakni berada dalam satu negara Tiongkok tapi boleh meneruskan sistem yang selama ini sudah berlaku di Taiwan. Termasuk sistem demokrasinya. Tsai Ing-wen langsung mengeluarkan pernyataan: menolak isi pidato Xi Jinping itu. Tiongkok memang menganggap Taiwan salah satu provinsinya. Taiwan sendiri menganggap Taipei adalah ibu kota sementara Tiongkok --kelak akan merebut kembali seluruh daratan yang dulu ditinggalkannya. Saat kalah perang sipil lawan komunis di tahun 1949. Setelah kelak berhasil merebut daratan barulah ibu kotanya pindah ke Beijing lagi. Karena itu sampai sekarang mereka menyebut Taiwan sebagai Republic of China--bukan Republic of Taiwan. Sedang yang di daratan sekarang adalah Peoples Republic of China--yang menurut Taiwan yang dulu memberontak itu. Sejak 1979 PBB mengakui hanya ada satu China--yang beribu kota di Beijing itu. Amerika Serikat juga terikat dengan One China Policy--tapi diam-diam tetap mendukung Taiwan. Ups...bukan diam-diam. Terutama sejak Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Kini tinggal kurang dari selusin negara kecil di lautan Pasific yang masih mengakui Republic of China sebagai satu negara. Tapi Hongkong adalah rejeki bagi Tsai Ing-wen--putri bungsu dari 11 bersaudara (dari istri keempat bapaknyi). Jajak pendapat kini mengunggulkan Tsai Ing-wen. Prosentase menangnya bisa dua digit. Rasanya kalau oun Ing-wen menang tidak akan sebesar itu. Kampanye terakhir Han kemarin benar-benar di luar dugaan. Besar sekali. Hampir setengah juta orang. Nanti malam kita sudah tahu siapa yang menang: Amerika atau Beijing --yang sebenarnya tidak ikut Pilpres itu. Atau justru mereka berdualah yang sesungguh-sungguh capres Taiwan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait