Mbah Maimoen Zubair

Sabtu 10-08-2019,17:12 WIB
Editor : Widisandika

Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, alumnus Univesitas Al-Azhar Kairo Mesir ini selalu jadi khadam (pelayan) setiap KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) ke Mesir. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah dan pengasuh Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Jawa Tengah itu ternyata banyak punya kenangan saat bersama ulama kharismatik yang wafat di Makkah Arab Saudi itu. Berikut kisah yang beliau ceritakan untuk bisa kita ambil teladan dari sosok Mbah Moen: Setidaknya tiga kali saya khidmah kepada KH. Maimoen Zubair, tiap ke Mesir. Dalam ziarah ke tiga 2005, beliau saya agendakan ziarah wisata ke Luxor dan Aswan didampingi Ibu Nyai Heni Maryam, saya bawa ke Airport Cairo. Saat di ruang boarding tiba-tiba beliau membisiki saya: “Mas Fadlolan, nanti kita ziarah ke Imam Syadzily ya…!!!” Ini permintaan yang sulit saya menjawab. Dalam hati saya berkata tidak mungkin, karena tiket pesawat sudah saya beli PP Cairo-Luxor-Cairo, berangkat pukul 07.00 kembali pukul 20.00. Biasanya kalau ziarah ke makam Imam Syadzili, mesti nginap, karena perjalanan tidak cukup pulang-pergi sehari semalam. Jarak tempuh Cairo Luxor +- 900 km dengan pesawat terbang, Luxor Humaisarah perkampungan Imam Syadzili +-400 km dengan jalan darat. Jalan sepi tidak begitu baik aspalnya. Maklum bukan jalur wisata turis. Yang paling aneh jalur ini tidak ada fasilitas kehidupan (tidak ada listrik, air, sinyal telpon, pom bensin, toilet, warung, dan lain-lain. Tidak ada sama sekali). Siapa Imam Syadzili? Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili, dikenal juga Imam Syadzili, lahir di Ghumarah, Maroko, 1197 M dan wafat di Humaitsara, Mesir, 1258 M. Adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia. Ia dipercayai oleh para pengikutnya sebagai salah seorang keturunan Nabi Muhammad Saw., yang lahir di Desa Ghumarah, dekat Kota Sabtah, daerah Maghrib (sekarang termasuk wilayah Maroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M. Nasab atau garis keturunan Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah Saw. Saya ingin benar-benar khidmah kepada kiai saya, maka saya harus berkata: “Sendiko dawuh/njih siap Kiai”. Pikiran saya masih terhantui tidak mungkin. Lalu saya telepon kawan saya orang Mesir yang siap menjemput kami di bandara Luxor. “Ya ammi Fauzi, hal mumkin ziarah ila al-Imam Syadzili (Apa mungkin untuk ziarah ke Imam Syadzili)?” Dia jawab, “Musy mumkin/tidak mungkin”. Tapi saya mencoba meyakinkan dia berulang-ulang, dan dia tetap menjawab tidak mungkin, karena dia sudah hafal ukuran kilometer perjalanan yang mesti nginap atau kalau langsung balik mesti ketinggalan pesawat dan nginap di Luxor. Singkat cerita, saya harus berkata: \"Kita coba, jika bisa PP ya alhamdulillah, bila tidak bisa ya kita nginap di Luxor dan tiket pesawat kita hangus, gampang nanti beli lagi.\" Akhirnya si Fauzi menyetujui. Sampai kami tiba di Bandara Luxor pukul 08.00 lalu kami sarapan minum hangat sambil menunggu pintu gerbang Ma’bad Luxor atau Luxor Temple (Kuil tempat ibadah Fir\'aun yang di Luxor) pukul 08.30 mulai masuk. Beliau sangat mengagumi peninggalan Fir\'aun. Beliau sambil mengajari saya supaya senang sejarah peradaban, beliaulah pakarnya. Saking senangnya, beliau lalui dua lokasi Ma’bad Luxor sambil cerita ayat-ayat kauniyat dihubungkan dengan ayat-ayat Al-Qur\'an, sambil foto-foto, saya abadikan. Saya sering mengingatkan beliau: \"Jadi ke makam Imam Syadzili Mbah Yai?\" Beliau jawab: \"Hiya, jadi.\" Karena sudah pukul 10.30, namun saking asyiknya, beliau tidak terasa capek. Saya ingatkan ulang, dan beliau berkata: \"Njih monggo berangkat ke Imam Syadzili.\" Tepat pukul 11.00 beliau saya naikkan mobil sedan Daewoo yang sering saya rental sekalian sopirnya, lalu meluncur cepat menuju Edfo, 100 km perbatasan Luxor dengan padang pasir yang tidak ada fasilitas kehidupan. Tiba di Edfo pukul 13.30, kami salat jamak taqdim, lalu makan siang di warung samping mushalla tersebut. Disinilah kekeramatan KH. Maimoen Zubair mulai dimunculkan: Seorang ibu pemilik warung makan, tiba-tiba keluar membawa air botol aqua besar, seraya berkata: “Ya Syaikh, ud’u li zauji, wahuwa maridh (Ya Syekh, doakan suami saya, ia sedang sakit)”. Beliau langsung terima botolnya dan didoakan seperti biasa tamu-tamu di ndalem Ponpes Sarang pada minta doa. Lalu beliau bertanya: “Aina zajak (Di mana suamimu)?” Lalu diajak ke kamarnya disuwuk dan diolesi air yang di botol tersebut. Saat kami pamitan, mau bayar warung, sungguh saling menjaga wirai, maunya yang punya warung tidak mau dibayar, tapi si Mbah KH. Maimoen Zubair, harus dibayar. Disitulah kekeramatan beliau terbaca oleh kami semua, terutama sopir saya amu/Lik Fauzi mulai kagum dan semakin percaya membawa seorang alim allamah yang sakti ini. Kami meninggalkan warung pukul 14.30 menuju Humaisarah yang jaraknya sekiatar 300 km jalan aspal tidam begitu baik, gurun pasir tidak ada kehidupan sama sekali. Saya hanya berdoa semoga selamat tidak ada gangguan mobil, tidak ada bengkel, bensinpun kita bawa cadangan 2 jerigen di bagasi. Pukul 17.00 kami tiba, lalu ambil wudhu dan ziarah. Kiai Maimoen Zubair membaca Hizb Nasr, tahlil singkat dan berdoa. Tepat pukul 17.45 matahari gelap. Kami segera meneruskan perjalanan kembali ke Luxor. Kekeramatan Syaikhona KH. Maimoen Zubair, tidak bisa ditutupi lagi, semakin jelas. Beliau duduk sila di jok belakang bersama Ibu Nyai Heni Maryam, wiridan. Saya di jok samping sopir. Melihat jam yang harusnya kami sudah tiba di Bandara Luxoor pukul 18.30 (dulu belum ada check in online) tapi saya hanya berdoa semoga kebagian pesawat. Semakin semangat sopir Arab itu, lupa kalau mobilnya itu sedan Daewoo tua, kok diajak lari 150-160/km. Saya merasa ban mobil itu tidak nempel jalan aspal. Ditambah jalannya pun tidak begitu baik. Tapi saya yakin yang saya bawa itu seorang waliyullah Syaikhona KH. Maimoen Zubair, semakin kencang wiridan semakin cepat. Di tengah perjalanan itu kami hanya dibekali istri saya cemilan ringan dan lemper buatan malam hari, yang dengan panas matahari sampai sore harinya sudah tidak sehat lagi. Tapi Syaikhona KH. Maimoen Zubair, sangat arif dan mendidik saya untuk qonaah/neriman: “Ayo Mas Fadlolan, kita makan lempernya buatan neng Fenti, itu enak ya…, pinter masak ya istri Mas Fadlolan,” katanya. Padahal beliau tahu istri saya itu tidak pintar masak. Lalu saya bergegas harus menyiapkan makan malam. Beliau pasti butuh kamar kecil untuk bersuci dan makan malam. Maka saya telepon hotel dekat airport yang bisa menyiapkan makan malam siap santap dan bisa ke kamar kecil dan mushalla. Perjalanan 400 kilometer sungguh terlipat waktunya hanya 1,5 jam (padahal setiap saya jalan ke sana bila tidak bersama Syaikhona KH. Maimoen Zubair, antar 7-9 jam). Namun pukul 19.00 kami tiba di Luxor di sebuah restoran hotel, lalu kami makan malam seafood dengan cepat. Beliau memberi saya uang 300 pound Mesir, standar umum makan berempat sudah cukup. Ternyata totalan kasir harganya 750 pound Mesir. Si Mbah Maimoen Zubair melihat kalau saya menambahi banyak. “Mas Fadlolan kok nambah banyak?” tanya beliau. Saya jawab, “Tidak nambah Mbah,” kata saya. “Lho saya lihat nambah kok,“ katanya. Karena orang Arab Mesir biasa ngitung uang diangkat di depan mata dia, maka kelihatan dari jauh jumlah tambahannya lebih banyak. Ringkas cerita, beliau mendesak pertanyaan: “Berapa itu tadi Mas?\" Saya jawab, “750 pound Mbah.” Saking tidak ridhanya harga yang terlalu mahal, terucap kata-kata beliau “Laisa minna (bukan golongan kita)”. Masyaallah, kami keluar dari restoran tersebut, tidak lama malam itu restoran terbakar bersama hotelnya, tidak bisa dipadamkan. Sopir saya menelepon saya: “Masyaallah kalumu Syaikh Maemun khothiir, kalamuhu dua (Omongannya Syaikh Maemun bahaya, omongannya itu doa). Al-funduk alladzi na’kul fih mahruq lam yuthfihi (Hotel yang kita buat makan tadi terbakar tidak bisa dipadamkan).\" Sebelum sampai restoran, saya sempatkan telepon kawan inteligen wilayah Luxor untuk menunda pesawat terbang yang akan kami tumpangi, saya katakan: \"Karena saya membawa seorang ulama besar dari Indonesia Syaikh Maemun Zubair.\" Telat sekitar 30-45 menit, kami sudah dekat airport namun mau ke kamar kecil dan makan malam terlebih dahulu. Alhamdulillah pesawat didelay 30 menit. Perjalanan terlipat jauh lebih cepat, kami masuk airport tidak usah check in, langsung disambut kawan-kawan mabahits dauli (inteligen Negara Mesir) langsung dikasih boarding pass kami dan masuk pesawat tanpa urusan. Begitu masuk pesawat, langsung pintu ditutup dan terbang. Orang Mesir dan turis lain, tertahan 30 menit di dalam pesawat. Begitu melihat kami orang Indonesia yang menyebabkan mereka didelay, lalu pada nyeletuk: \"Ya Andunisi/Hai orang Indonesia…!!!\" Saking capeknya, saya ngantuk, tapi Syaikhona Maemun Zubair memegangi tangan saya sepanjang perjalanan, dan sering dilirik wajah saya seraya berkata: \"Mas Fadlolan tadi naik apa?\" Saya jawab: \"Naik Burok, Mbah\". Beliau jawab: \"Hiya betul…betul…betul… Mas Fadlolan.\" Setibanya di Kairo, saya antar beliau istirahat, lalu pagi harinya saya bawakan koran. Terdapat foto berita hotel yang tempat kami makan tadi malam terbakar tidak bisa dipadamkan, akibat dingendikani “Laisa minna”. Beliau orang alim dan pengasih, menundukkan kepala, bersedih. Saya curi pandang wajah beliau, ternyata air mata mengalir di pipinya, menangis tanda menyesali ucapan beliau yang menjadi doa kesedihan orang lain. Inilah waliyullah yang arif dan penyayang semua makhluk. Perjalanan ini tidak pernah bisa saya ulang seumur hidup ini. Cerita ini sering disampaikan Mbah Moen pada tamu-tamu yang sowan di ndalem Pesantren Sarang, Rembang, dan juga dalam banyak pengajian. Saat itu saya masih tinggal di Kairo Mesir. Sudah banyak yang mendengar cerita ini, dan baru ketemu saya. Maka sering ketemu orang yang kenalan, lalu tiba-tiba dia berkata: \"Oh ini tah yang namanya Fadlolan, yang sering diceritakan Syaikh Maemun Zubair.\" Saya bersyukur bisa khidmah beliau, dan banyak kenangan yang spesial diberikan kepada saya, dari diberikan seorang istri saat saya di Mesir, sering diberikan ijazah khusus, dan sampai dua kali datang mendoakan pesantren “Fadhlul Fadhlan”. Perintah dan ridha beliau pesantren ini terwujud, dan berkat doa beliaulah pesantren ini cepat berkembang. Ya Syaikhona Maemun Zubair, Engkaulah mahaguru mursyidku dan orangtuaku yang ma’rifat mengetahui banyak hal yang sedang dan terencana akan saya laksanakan. Terkadang saya sendiri tidak tahu, dan engkau memberikan isyarat lewat mimpi maupun lewat utusan santri yang selalu membawa pesan amanat langsung datang menghampiri kediamanku. Dari sinilah beliau selalu membekali ijazah doa-doa untuk bekal berjuang ketika kami telah pulang ke dalam negeri. Ya Syaikhona Maemun Zubai, cita-citamu ingin wafat di Makkah, sehingga tiap tahun selalu naik haji. Dan kini Allah kabulkan. Harapanmu ingin wafat hari Selasa, sebagaimana ulama-ulama besar, kini Engkau wafat hari Selasa. Saya sedih kau tinggalkan, tapi demi cita-citamu ketemu Allah di hari dan tempat yang dicita-citakan, saya turut bahagia. Semoga Syaikhona Maemun Zubair, ditempatkan di sisi Allah Swt., surga Firdaus dan selalu memberkahi kita, sekalipun semayam di Ma’la Makkah al-Mukarromah, pada pukul 04.00 waktu Makkah, Selasa, 6 Agustus 2019/5 Dzul Hijjah 1440 H. Tapi selalu bersama kami. Setiap waktu Fatihahku selalu mengiringimu ya Syaikhona Maemun Zubair. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait