Ungkap Kasus Mafia Tanah, Polisi Beber Fakta Soal Lahan Terlantar

Sabtu 12-02-2022,11:39 WIB
Editor : Widisandika

RADARLAMPUNG.CO.ID-Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Bandarlampung belakangan tengah gencar membongkar aksi mafia tanah di kota Tapis Berseri. Selama sepekan, ada dua kasus mafia tanah yang telah diekspos ke publik. Satu diantaranya bahkan melibatkan oknum honorer dan mantan ASN dilingkungan ATR BPN kota Bandarlampung. berdasarkan catatan kepolisian, sejak 2021 lalu Polresta Bandarlampung telah menangani sebanyak enam perkara mafia tanah. Masing-masing terkait empat perkara sengketa tanah di wilayah Sukarame, satu perkara di wilayah Kemiling, dan satu perkara di wilayah Sukabumi, Bandarlampung. Hal tersebut disampaikan Kasatreskrim Polresta Bandarlampung, Kompo Devi Sujana kepada Radar Lampung, Jumat (11/2). “Beberapa sudah naik kepersidangan, salah satunya itu kasus sengketa lahan dengan tersangka Su dan Da,” katanya. Kemudian adapula beberapa perkara mafia tanah yang dilakukan oleh orang yang sama. Diantaranya kasus sengketa dengan tersangka Edi Bagong alias Suhaidi. Devi mengatakan, Edi Bagong merupakan salah satu mafia tanah yang terbilang lihai. Lantaran mampu meraup keuntungan hingga miliaran usai menipu korbannya. Adapun modus yang digunakan yakni dengan menjual satu lahan kosong berulang-ulang kali kepada korban yang berbeda. Lahan tersebut sempat dijual seharga Rp750 juta hingga Rp2,6 miliyar. Ulahnya tersebut memunculkan gugatan perdata lantaran korban saling klaim terkait lahan di Sukarame, Bandarlampung. “Untuk saat ini ada satu perkara atas tersangka Edi Bagong yang sudah naik ke persidangan. Kemudian satu perkara sedang tahap penyidikan, dan ada dua perkara lain yang sedang diselidiki berkaitan dengan keterlibatan Edi Bagong,” jelasnya. Bicara tentang modus, Devi mengaku, sebenarnya ada banyak modus berbeda yang digunakan para mafia tanah untuk menjerat korbannya. Diantaranya dengan memanfaatkan tanah kosong tidak dikelola oleh pemiliknya. “Kemudian biasanya mereka mencari sertifikat yang bisa diganti (datanya, red), disesuaikan dengan lokasi lahan, luas dan lain-lain,” katanya. Sertifikat itu lah yang kemudian ditawarkan oleh para mafia tanah kepada korbannya. Masyarakat yang kurang teliti, biasanya mudah menjadi mangsa. Di samping itu adapula modus lain. Yakni dengan mendirikan bangunan di atas lahan kosong yang tidak dikelola pemiliknya. Bangunan tersebut yang biasanya disewakan atau bahkan dijual ke orang lain. Sehingga membuat pemilik menjadi kesulitan mengklaim lahannya sendiri. “Itu lah yang kemudian menimbulkan kepemilikan ganda, karena pelaku sudah membuat sparodik atas lahan tersebut dan menjualnya ke orang lain. Dari sana pelaku mulai memainkan motif-motif seperti dugaan pemalsuan dokumen, isi dan sebagainya,” katanya. Disinggung soal keterlibatan oknum ATR BPN dalam perkara mafia tanah, menurut Devi, pada beberapa kasus memang sempat ditemukan. “Tapi tidak selalu ada campur tangan oknum BPN di dalamnya,” katanya. Pada beberapa kasus, seperti perkara mafia tanah dengan tersangka Edi Bagong. Pelaku mengganti nama kepemilikan sertifikat dengan cara mengerik tinta yang ada di atas sertifikat. “Jadi dikerik dengan menggunakan silet perlahan, kemudian baru diganti dengan nama lain. Tapi setelah dilakukan uji lab dengan menggunakan bahan-bahan kimia, nama asli pada sertifikat dan sisa tinta itu masih muncul kembali,” tambahnya. Disamping itu, dia juga mengingatkan kepada masyarakat untuk lebih teliti saat akan membeli tanah. Salah satunya dengan mengecek legalitas sertifikat tanah melalui BPN setempat, atau juga melalu aparat. Baik camat maupun lurah. Dia juga menghimbau kepada masyarakat, pemegang sertifikat tanah asli agar dapat menyimpan dokumen-dokumen penting mereka di tempat yang aman. Disamping itu, pemilik tanah juga diharap tidak menelantarkan tanah mereka terlalu lama. Sebab pada sejumlah kasus ditemukan, pelaku kerap mengincar lahan kosong yang tidak dikelola oleh pemiliknya. “Biasanya mereka melihat lahan kosong kemudian mulai dibangun sesuatu misalnya gubuk. Kemudian ditanami pohon Atau tanaman lainnya. Ketika sebulan dua bulan tidak ada yang protes atau menolak, itu mereka langsung bekerja. Baik membuat sporadik palsu atau pun lain-lainnya. Kemudian mulai menyewakan lahan atau bahkan menjualnya ke orang lain,” jelasnya. (ega/wdi)

Tags :
Kategori :

Terkait