Senator Lampung dr.Jihan Usulkan Revisi Tarif Ina-CBG BPJS Kesehatan

Selasa 07-01-2020,13:33 WIB
Editor : Yuda Pranata

radarlampung.co.id - Masa reses sidang pertama DPD RI yang berlangsung antara tanggal 13 Desember 2019 - 5 Januari 2020 telah berakhir. Empat senator asal Lampung sudah turun ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Selanjutnya, aspirasi masyarakat di berbagai bidang ini dibacakan dalam sidang paripurna DPD RI ke-7 masa sidang tahun 2019–2020, di Gedung Nusantara V MPR/DPD RI Jakarta Pusat, Senin (6/1). Dalam reses kali ini, empat senator asal Lampung, Jihan Nurlela, Ahmad Bastian, Bustami Zainudin, dan Abdul Hakim, melakukan pengawasan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Selanjutnya, UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, UU Nomor 6 Tahun 2004 tentang Desa, dan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Banyak aspirasi diberbagai bidang dibacakan oleh Jihan dalam sidang paripurna ini. Sebagai senator berlatarbelakang dokter, Jihan seolah tak ingin ‘kacang lupa kulitnya.’ Aspirasi di bidang kesehatan menjadi salah satu prioritas yang ia bacakan dalam sidang paripurna. Salah satunya terkait BPJS Kesehatan, khususnya tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBG). \"Program JKN telah berjalan pada tahun kelima dan sekitar 193 juta jiwa telah menjadi peserta JKN-KIS di hampir semua wilayah negara ini. Permasalahan yang ada, selama dijalankannya program JKN adalah besarnya biaya pengeluaran manfaat asuransi, tarif yang kurang memadai, mutu pelayanan rendah, dan sebagainya. Permasalahan dalam pengendalian biaya dan di sisi lain rendahnya tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBG),” ujar Jihan yang membidangi Komite III DPD RI ini, selasa (7/1). Dia menjelaskan, tarif INA-CBG merupakan sistem pembayaran dengan sistem \"paket\", berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan tarif INA CBG yang merupakan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis. \"Perbedaan tarif INA-CBG antara rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah hanya berkisar 3%-5%, idealnya beda 30% karena rumah sakit swasta self-funded,\" ucapnya. Menurut dia, Perpres No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan kesehatan mengatur bahwa INA-CBG’s ditinjau sekurang-kurangnya 2 tahun sekali. \"Saya sebagai anggota DPD mendesak pemerintah untuk cepat mengevaluasi ina-cbgs dan segera melakukan revisi, merujuk Perpres itu artinya bisa saja review dilakukan setiap tahun mengingat ada variable inflasi yang perlu dipertimbangakan. Namun pada kenyataannya sampai dengan tahun ini tidak pernah sekali pun ada revisi,\" urainya. Menurutnya, aspirasi ini merupakan salah satu aspirasi yang ditampung saat berkunjung ke beberapa rumah sakit, khususnya di RS Sukadana, Lampung Timur. \"Besaran tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBG) yang dirasakan tidak cukup oleh banyak rumah sakit. Untuk itu perlu Penyusunan tariff baru, besaran tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBG) melalui revisi permenkes atau aturan turunan lainnya. Hal ini dapat mengakomodasi kepentingan pasien mendapatkan obat yang cost-effective, bukan sekadar obat murah,\" papar Senator cantik asal Lampung Timur ini. Masih menurut Jihan, kementerian Kesehatan melalui Ditjen Pelayanan Kesehatan seharusnya membuat suatu pedoman mengelola rumah sakit di era JKN dengan penekanan pada kendali biaya dan kendali mutu. \"Berdasarkan data BPJS-Kesehatan, pembayaran klaim ke rumah sakit meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan peserta ke semua fasilitas kesehatan yang menjadi penyedia layanan BPJS-Kesehatan. Idealnya jumlah kunjungan ke rumah sakit antara 6%-8%, karena klinik atau puskesmas harus mampu mendiagnosa dan mengobati paling tidak 155 jenis penyakit, tidak harus dirujuk ke rumah sakit,” pungkasnya. (rls/yud)

Tags :
Kategori :

Terkait