Bahkan, ada parpol yang belakangan mengubah dukungannya setelah diiming-imingi sang cukong.
Maka politik Lampung pun berubah bar-bar. Parpol tak malu lagi membandrol diri. Sebuah rekomendasi yang dibutuhkan calon guna mencukupi batas minimal perahu menjadi arena lelang. Siapa yang bisa memberi “mahar” lebih tinggi dia yang akan mengantonginya.
Sang cukong tak peduli soal itu. Berapapun dia bayar asalkan bisa memuluskan Langkah calon yang didukungnya. Ada yang menyebut, untuk sebuah Pilgub sang cukong menghabiskan dana Rp500 miliar-Rp800 miliar. Sebuah angka yang sangat fantastis.
Seorang gubernur sekalipun tidak akan bisa mengumpulkan dana sebesar itu selama 5 tahun dia menjabat. Bila rumor itu benar, rasa-rasanya tidak akan ada calon yang cukup “gila” menghabiskan dana sebesar itu untuk memenuhi syahwat politiknya.
Calon yang memiliki finansial sebesar itu juga hanya bisa dihitung jari. Kalaupun mengandalkan pihak lain, sumbangan yang diberikan tentulah nilainya juga tidak akan melampaui angka itu.
Maka tak heran bila para tokoh saat ini banyak menahan diri. Mereka berpikir realistis menunggu “hilal” dukungan sang cukong untuk kemudian ikut merapat. Dalam pikiran mereka, sebanyak apapun dana yang mereka habiskan untuk sosialisasi tidak akan mampu melawan gelontoran dana dari sang cukong untuk calon yang dia dukung.
Akhirnya, anomali pilkada Lampung pun tak terbendung. Para tokoh memilih melakukan gerakan bawah tanah untuk merebut restu sang cukong dibandingkan upaya memenangkan hati rakyat. Bagi mereka restu sang cukong adalah sebuah jaminan kemenangan.
Bak virus, logika berpikir ini juga menyebar di kalangan masyarakat. Bahkan hingga ke level elite. Seorang pejabat pemerintahan pernah mengungkapkan isi hatinya tentang arah dukungan ini. Ia mengaku masih menunggu arah dukungan sang cukong sebelum merapat pada seorang calon. “Kita realistis saja. Buat apa mati-matian mendukung (calon) kalau nanti yang didukung kebon (sebutan lain sang cukong) beda. Nggak bakalan menang kita,” ucapnya sambil tersenyum.
Meski disampaikan dengan cara bercanda namun makna yang disampaikan dapat diyakini kebenarannya. Jika tidak ada perubahan maka Lampung akan terus berada di bawah bayangan sang cukong. (*)