Terutama pada saat terakhir kali meletus pada abad ke-17, sementara itu tidak ada keterangan waktu pasti yang mencatat kapan dan bagaimana orang mulai tinggal di pulau ini.
Pulau Aogashima ini sebelumnya tidak ditemukan catatan tentangnya sebelum abad ke-16, itu kemungkinan besar disebabkan karena belum teresentuh oleh manusia sehingga tidak terpetakan.
Pada saat itu hanya dari catatan sejarah dari periode Edo aktivitas vulkanik di pulau-pulau tersebut telah dilacak oleh para sejarawan dan ilmuwan.
Sejak akhir abad ke-16 ada gempa bumi dan letusan yang tercatat, juga telah dicatat bahwa tidak ada penduduk di pulau itu.
BACA JUGA:Empat Rektor Perguruan Tinggi di Lampung Dipimpin Perempuan
Diperkirakan pemukiman di pulau ini dimulai antara abad ke-17, sebab pada akhir abad ke-17 terjadi letusan gunung berapi besar di pulau ini yang menewaskan sekitar 100 orang.
Pada catatan sensus yang dilakukan terakhir kali terhadap penduduk Pulau Aogashima baik anak kecil maupun orang dewasa.
Setidaknya tercatat ada sekitar 170 orang yang menetap di pulau tersebut.
Menariknya, hampir semua penduduk di pulau itu saling mengenal satu sama lain, baik nama maupun wajah mereka.
BACA JUGA:Hamili Anak Dibawah Umur, Kakek Ini Diamankan Polsek Waway Karya Lampung Timur
Hal menarik lainnya dari pulau ini adalah kebanyakan penduduknya memiliki silsilah hubungan keluarga.
Namun begitu, terdapat pendatang dari berbagai daerah di Jepang yang memang memilih untuk menetap di sana.
Mata pencaharian penduduk di Pulau Aogashima untuk kehipuan mereka kebanyakan adalah bertani, nelayan, serta pariwisata.
Penduduk Pulau Aogashima lebih banyak menanam padi, sayuran dan buah-buahan sebagai mata pencaharian mereka yang utama.
BACA JUGA:5 Alumni Universitas Lampung yang Terjun ke Dunia Politik
Tanaman-tanaman itu oleh penduduk Pulau Aogashima bukan ditanam di lahan datar, melainkan ditanam di teras-teras bukit yang curam.