Dua cara berbeda itu yakni dengan menggunakan sarana transportasi pertama adalah kapal yang berlayar dari pelabuhan Sihani di Hachi Jochima ke Pelabuhan Sanpao di Aogashima.
Sarana melalui kapal tersebut dikethaui hanya ada satu perjalanan keluar atau masuk pulau dalam sehari.
Dalam kondisi tertentu seperti cuaca yang buruk, kapal bahkan tidak akan melakukan perjalanannya.
Sarana transportasi kedua adalah melalui helikopter, ini adalah perjalanan yang dapat menampung sekitar 9 orang setiap kali perjalanan.
Sarana transportasi yang satu ini memang cukup mahal, dalam satu kali perjalanan harganya mencapai Rp 1,2 juta jika dirupiahkan.
Kemungkinan lain penyebab sedikitnya populasi di pulau itu yakni karena terbatasnya kegiatan yang membuat penduduk setempat tidak dapat melakukan banyak hal.
Yang kemudian mendorong sebagian penduduknya untuk berhijrah atau pindah ke daerah lain mennggakan kampung halamannya.
Tidak ada restoran, tidak banyak toko, atau apapun di pulau itu. Ini berarti bahwa tidak akan ada banyak pekerjaan untuk dipilih atau tidak banyak orang untuk dilayani.
Meski nampaknya pulau ini sedap dipandang mata, tetap saja tempat ini adalah sebuah gunung berapi yang aktif yang dapat meletus kapanpun.
Untuk itu, penduduk memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mendeteksi tanda-tanda sebelum terjadinya letusan.
Sehingga dapat mengantisipasi tindakan yang akan diambil oleh penduduk maupun pemerintah Jepang jika peringatan itu terjadi. (*)