RADARLAMPUNG.CO.ID - Mustafa mantan Bupati Lampung Tengah (Lamteng) hadir langsung dalam sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang, Kamis 5 Oktober 2023.
Dalam sidang itu, Mustafa yang menjadi pemohon hadir didampingi pengacaranya, Muhammad Yunus. Sedangkan dari pihak termohon yakni KPK hadir jaksa penuntut umum Taufiq Ibnugroho.
Sidang PK dibuka oleh hakim Aria Veronica, namun sidang PK tersebut terpaksa ditunda lantaran ketua majelis hakim Achamd Rifai sedang melakukan diklat. "Hari ini ketua majelis hakimnya sedang melaksanakan diklat di seluruh Pengadilan Tinggi di Lampung. Jadi sidangnya belum bisa kita lanjutkan," kata Aria Veronica.
Sidang pun dilanjutkan pada Kamis 12 Oktober 2023, pekan depan dengan agenda pemeriksaan berkas. Dalam sidang tersebut, pengacara Mustafa, Muhammad Yunus meminta agar majelis hakim memberikan surat panggilan kepada Mustafa untuk bisa mendatangkannya ke PN Tanjungkarang dari Lapas Sukamiskin, Bandung.
"Karena berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung mewajibkan untuk menghadirkan pemohon PK. Kami minta majelis hakim mengirim surat panggilan ke Lapas Sukamiskin untuk bisa menghadirkan pemohon," katanya.
Usai sidang, pengacara Mustafa, Muhammad Yunus mengatakan bila inti permohonan kliennya adalah membatalkan putusan di Pengadilan Tipikor Tanjungkarang pada tahun 2021 lalu atas korupsi suap fee proyek di Dinas PUPR Lamteng, sebab pandangannya perkara Mustafa termasuk Ne Bis In Idem atau satu perkara dengan dua putusan yang berbeda.
BACA JUGA:BPK Temukan Honorarium Mencurigakan DPRD
Padahal Mustafa sudah lebih dahulu divonis bersalah di PN Jakarta Pusat pada tahun 2018 sudah divonis bersalah atas kasus suap DPRD Lamteng untuk persetujuan atas izin pinjaman Rp300 miliar di PT Sarana Multi Infrastruktur.
"Jadi intinya permohonan kami pidana tidak bisa diputuskan dua kali. Kan dua peristiwa yang sama tetapi ada dua putusan yang berbeda di PN Tanjungkarang dan PN Jakarta. Setelah kita telaah pasal 263 KUHAP ada keadaan baru, semestinya perkara kedua (di PN Tanjungkarang) itu Ne Bis In Idem. Karena sudah diputus di Pengadilan Jakarta," kata Muhammad Yunus.
Kemudian yang kedua, yakni azas kepastian hukum di mana tidak ada dasar yang jelas untuk penghitungan antara uang pengganti kerugian negara dan hukuman subsider. Contohnya kata dia kasus perkara Setya Novanto uang pengganti kerugian negara Rp100 miliar apabila tidak diganti maka menjalani hukuman subsider dua tahun.
BACA JUGA:Seleksi CPNS Kemenkumham 2023 Masih Dibuka, Segini Gaji yang Akan Didapatkan Jika Lolos
Hal ini kata dia sama dengan uang pengganti di perkara Mustafa, ia harus membayar uang pengganti Rp17 miliar dan juga apabila tidak diganti maka diganti hukuman subsider dengan penjara selama dua tahun.
"Ada disparitas, ada alat bukti yang disampaikan beberaa perkara yang uang pengganginya lebih rendah. Misalnya uang pengganti di perkara Setnov Rp100 miliar subsider hukumannya 2 tahun. Begitu juga dengan pak Mustafa uang pengganti Rp17 miliar tetapi subsidernya juga sama dua tahun. Jadi apa dong dasarnya konversi mengganti uang pengganti dengan subsider. Pidana ini kan azaskepastian hukum," ungkapnya.
Sedangkan jaksa KPK, Taufiq Ibnugroho mengatakan meski belum dibacakan permohonan perkaranya, namun apabila permohonan itu adalah Ne Bis In Idem maka hal itu menurutnya tidak termasuk. Sebab dua perkara Mustafa adalah berbeda.