Aku Padamu, Mahasiswa

Aku Padamu, Mahasiswa

Oleh: KARDONO SETYORAKHMADI Jurnalis KEMARIN di hampir semua platform media sosial, saya mendapat banyak sekali broadcast berupa potongan klip pernyataan Menkum HAM Yasonna Laoly di sebuah talk show televisi swasta. Dalam acara tersebut, Yasonna membantai para mahasiswa dengan logika hukumnya yang runtut, logis, dan lengkap. Dia mempertanyakan apa yang dimaui mahasiswa. Kenapa RKUHP ditolak, padahal banyak di antara pasal yang kontroversial itu yang sebenarnya sudah berlaku sekarang? Juga, kenapa ditolak sekarang, padahal RKUHP sudah lama dibahas? Rapat panitia kerja pun selalu terbuka untuk umum. Apakah mahasiswa sudah membaca ratusan halaman draf RKUHP dan RUU lain yang ditolak? Gambar sesekali beralih ke meja perwakilan mahasiswa yang diundang. Mereka tampak mentah, ingah-ingih, dan nyekukruk. Yasonna juga membuat argumentasi ad hominem. Dengan menyebut bahwa argumentasi mahasiswa terasa bodoh. ”Malu lah, dilihat di publik kok terlihat bodoh.” Kira-kira seperti itulah. Persis yang dilontarkannya untuk menanggapi protes Dian Sastro soal RKUHP (sebuah tanggapan tak sensitif yang menunjukkan Yasonna belum tahu siapa Dian Sastro, terutama bagaimana die hard fansnya akan membela). Broadcast tersebut disebar dengan kalimat-kalimat singkat bernada menjatuhkan. ”Seperti ini toh yang dinamakan mahasiswa itu? Kok cuma segitu aja kualitasnya?” Hal itu terutama muncul di kalangan buzzer-buzzer propemerintah. Orang awam yang melihat sekilas pasti dengan mudah terpengaruh. Dan, sejumlah kawan beneran terpengaruh, ikut menilai para mahasiswa seperti itu. ”Bacot doang yang gede.” Begitu komentar mereka. Narasi itu kemudian disandingkan dengan potongan klip kerusuhan yang terjadi di seputar aksi demo tersebut. Kemudian, terjadilah lagu lama pendiskreditan berbungkus kalimat bijak intelektual. ”Tidakkah mahasiswa melihat aksinya mudah ditunggangi dan berpotensi menjadi kerusuhan?” Wait, wait… Narasi itu benar-benar sangat pelan mengarahkan. Dan jika tidak kritis, tiba-tiba saja simpati pada aksi mahasiswa berubah menjadi antipati. Namun, dunia tidak berjalan seperti itu. Nalar narasi itu mempunyai banyak plot hole, mengadopsi istilah perfilman. Sah-sah saja meminta para mahasiswa yang melakukan aksi untuk lebih memahami persoalan yang disuarakan. Dan, memang itu seharusnya. Namun, kalau meminta mereka membaca dan menghafal ratusan draf RKUHP dan RUU lainnya, ya jelas itu permintaan yang berlebihan. Mustahil juga mengharapkan semua –atau katakanlah mayoritas– mahasiswa yang melakukan aksi tersebut mempunyai kemampuan intelektual, retorika, serta nalar hukum seperti Yusril Ihza Mahendra atau Eddy Hiariej. Waktu para mahasiswa akan habis hanya untuk membaca, menghafal, dan berdiskusi di antara sesama mereka. Tidak untuk melakukan aksi. Jadi, jangan pernah membandingkan apple-to-apple antara Yasonna dan para mahasiswa tersebut. Tidak fair. Plegak-pleguk, terlihat mentah, dan gagap beretorika, ya itu memang gambaran umum rata-rata mahasiswa. Memang ada yang istimewa. Sudah jago retorika, penguasaan teorinya juga mendalam. Tapi, itu sedikit. Tidak ada yang salah dengan menjadi seperti itu. Yang penting jangan kehilangan nurani dan kehilangan keberanian untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Lagi pula, siapa sih yang tidak pernah memasuki fase-fase seperti itu? Fahri Hamzah, Yusril Ihza, Budiman Sudjatmiko yang merupakan para jago podium pasti pernah mengalami menjadi mahasiswa dan plegak-pleguk. Atau membandingkan kemampuan Hariman Siregar dan Fadjroel Rachman saat Malari 1974 silam? Mereka-mereka itu juga pasti culun ketika melakukan aksi yang menghebohkan tersebut. Namun, sejarah selalu menulis bahwa mereka-mereka itulah yang bisa mendobrak tembok otoritarianisme rezim. Merekalah yang berani menyuarakan apa yang tak pernah berani disampaikan masyarakat luas. Reformasi 1998 dimulai dari krisis ekonomi. Sejarah mencatat bahwa yang bergerak lebih dahulu untuk memprotes tatanan ekonomi adalah para mahasiswa. Ketika Soeharto membungkuk menandatangani letter of intent di depan Michel Camdessus, perwakilan IMF pada 1997, hanya sedikit ekonom dan cendekiawan kampus yang bersuara. Yang lantang turun ke jalan memprotes langkah yang membuat masyarakat Indonesia terpuruk itu ya mahasiswa. Sebelum akhirnya menjadi sebuah kesadaran bersama. Saya menduga, justru karena masih hijau itulah para mahasiswa ini lebih jernih dan masih memegang apa yang dinamakan hati nurani. Mereka bersinggungan langsung dengan masyarakat, menyerap aspirasi masyarakat tanpa tendensi, merasakan amarah dan kekecewaan mereka, lalu menyuarakannya. Sedangkan soal demo yang rentan ditunggangi dan disusupi, ya memang itu belum pernah ada jawabannya secara sempurna. Tapi, setidaknya jawaban salah seorang mahasiswa dalam acara talk show tersebut juga tak kalah bagusnya. ”Cobalah bicara soal substansi. Produk perundang-undangan itu harus praktis, partisipatif, dan presisi. Kami merasa bahwa produk yang mau disahkan ini belum seperti itu. Cobalah bicara soal substansinya.” Menurut saya, isu yang digelorakan: protes atas pelemahan gerakan antikorupsi, perlawanan terhadap oligarki negeri, dan penghapusan RUU yang bersifat represif ke masyarakat adalah isu yang menjadi kekhawatiran masyarakat luas. Lihat saja, ini saja masih kebobolan dengan disahkannya UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan pada Selasa (24/9). Para petani memprotes karena UU tersebut berpotensi menghilangkan kedaulatan petani atas sawah mereka dan menjadikan mereka menginduk pada korporasi tani. Seorang teman bertanya, bagaimana jika mengumpulkan seluruh elemen, berdiskusi, menyimpulkan tuntutan apa saja, lalu kemudian menuliskan dan menyerahkannya kepada pemerintah dan DPR? Hal itu kemudian diamplifikasi di media sosial. Tak perlu turun ke jalan. Ide yang tampaknya ideal, tapi tampaknya musykil terjadi. Mengumpulkan seluruh elemen saja sudah membutuhkan energi tersendiri. Siapa saja yang akan diundang? Panitianya siapa? Bagaimana merumuskannya? Perdebatanakan sangat panjang. Dan jangan-jangan sebelum kesimpulan ada, peserta sudah kelelahan. Kalaupun bisa dilakukan, tidak ada jaminan pula pemerintah akan menepati. Soal ramai di medsos dan media juga tidak perlu digubris. Habis perkara. Namun, satu hal yang terpenting, mahasiswa generasi milenial telah membuktikan kemampuan mereka untuk menyerap aspirasi masyarakat dan berani menyuarakannya. Yang membuat aksi mahasiswa ini berbeda adalah banyaknya masyarakat yang merasa terwakili. Kamis (26/9), sejumlah elemen di Surabaya bergerak melakukan aksi di DPRD Jatim. Dari apa yang saya dengar, banyak warga Surabaya yang mendukungnya meski yang kontra tentu saja tetap ada. Banyak warga yang bertanya, jika ingin berdonasi, harus melalui mana? Apa saja yang bisa didonasikan? Apa yang bisa mereka bantu jika sekiranya tak bisa ikut acara tersebut? Fenomena itu membuktikan bahwa banyak warga yang merasa terwakili oleh aksi mahasiswa tersebut. Lihat saja video bagaimana pedagang buah di Jalan Gejayan dengan santai memberikan buah dagangannya kepada para demonstran. Atau, di Jakarta banyak warga yang langsung mengeluarkan slang air ke luar rumah untuk menolong para mahasiswa yang terpapar gas air mata. Itu menunjukkan bahwa aksi mahasiswa angkatan 2019 dengan segala tuntutannya merupakan representasi aspirasi sebagian besar masyarakat. Mereka yang dicibir lembek, apolitis, lebih peduli gadget ketimbang rakyat, membuktikan bahwa mereka bisa menyuarakan aspirasi masyarakat dengan berani. Ini adalah era mereka, masa mereka. Milik mahasiswa angkatan 2019. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: