Kejar Komiditi Ekspor Rajungan Wajib Tetap Terapkan Hak Ekositem dan Keseimbangan

Kejar Komiditi Ekspor Rajungan Wajib Tetap Terapkan Hak Ekositem dan Keseimbangan

RADARLAMPUNG.CO.ID - Rajungan merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang diminati pasar internasional. Tak mau kalah dengan daerah lain, Lampung pun termasuk penyumbang perikanan tangkap rajungan nasional. Setidaknya, Lampung konsisten menyuplai 10 sampai 15 persen kebutuhan per tahun. Perwakilan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan Siti Kamarijah menuturkan, rajungan pun masuk dalam prioritas untuk dikelola. Sebab, rajungan menjadi salah satu komoditas ekspor yang banyak diminati, khususnya di Amerika Serikat. Yang digarisbawahi Siti, hakikat pengelolaan sumber daya ikan rajungan di antaranya yakni memenuhi hak masa depan, hak ekosistem, hingga keseimbangan. \"Jangan menangkap rajungan bertelur, rajungan yang belum sesuai untuk konsumsi, dan lainnya,\" pesan Siti secara virtual dalam Pelatihan Singkat Kampanye Media JUARA untuk wartawan di Emersia Hotel and Resort, Bandarlampung, Sabtu (18/9). Menyinggung tata kelola, pengetahuan, dan kesadaran nelayan, menurutnya memang masih kurang terkait keberlanjutan pelestarian perikanan rajungan. Hal ini, tegas dia, sangat membutuhkan peran bersama. Di acara yang sama, Kabid Pelayanan Tangkap DKP Lampung Sutaryono mengungkapkan, pada 2022 Lampung diharapkan bisa menjadi penghasil rajungan terbaik. Baik itu dari hasil penanganan rajungan, total produksi, hingga pengelolaan sumber daya rajungannya. Sutaryono merunci, produksi perikanan rajungan di Lampung pada tahun 2019 tercatat mencapai 1.192.533,22 kilogram. Di tahun 2020 meningkat signifikan menjadi 1.383.219,64 kilogram. Dengan pasar ekspor di antaranya ke Amerika Serikat, Hongkong, Singapura, dan lainnya. Oleh karena itu, ia berpesan pelestarian perikanan rajungan harus dijaga secara berkelanjutan. Hal ini pun semata demi kesejahteraan nelayan. Berdasarkan data yang ia miliki, di Lampung terdapat lima perusahaan  yang melakukan pengolahan ikan rajungan melalui unit pengelolaan ikan (UPI) rajungan. Kelimanya yaitu PT Philips Seafoods Indonesia, PT Siger Jaya Abadi, PT Siger Jaya Sentosa, PT Cakrawala Seafood Jaya, dan PT Bumi Menara Internusa. Masih di acara yang sama, Ketua Forum Nelayan Rajungan Provinsi Lampung Miswan menceritakan, harga jual di tingkat nelayan masih terbilang rendah. Bahkan untuk setiap nelayan masih belum satu harga. \"Rajungan makanan orang kaya itu betul, karena harganya mahal. Tapi yang mencarinya adalah nelayan yang merupakan orang kecil. Sementara nilai jual rajungan di nelayan sendiri rendah. Bergantung pada harga yang ditentukan pengepul,\" ungkapnya. Namun, mau tidak mau nelayan harus menjual rajungan dengan harga pengepul. Mereka tidak tahu lagi harus menjualnya kemana, di mana bila tidak terjual hari itu juga maka semakin turun nilai jualnya. \"Sebenarnya tidak sesuai penghasilannya dengan apa yang kita lakukan. Saya pernah sampai menjual kapal karena kapal butuh perawatan, sementara tidak ada hasil tangkapan dari melaut untuk dijual,\" kisahnya. Selain perbaikan pada kapal, alat tangkap jaringnya juga butuh perawatan. Sementara harga jual rajungan tidak menentu. Ketika sedang musim Barat atau sedang melimpah maka harga jual rajungan cenderung murah. Pernah suatu ketika, harga jual anjlok di harga Rp7 ribu sampai Rp10 ribu per kilogram dan dalam sehari rata-rata hanya mendapat 10 Kg rajungan. \"Karena di September ini musim Timur maka harganya mahal, bisa Rp100 ribu per kilogramnya. Karena rajungannya sedikit, sulit dicari,\" kata Miswan. Dengan terbentuknya kelompok nelayan, kedepan pihaknya menekankan pola penangkapannya harus sefrekuensi. Yakni dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. \"Kita harus berprinsip menerapkan sistem tangkap berkelanjutan yang tidak merusak lingkungan atau habitat rajungan itu sendiri,\" pungkasnya. (sur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: