Membangun Learning Organization Pemerintah Desa

Membangun Learning Organization Pemerintah Desa

Oleh Aep Susanto*

*Mahasiswa S3 Doktoral Studi Pembangunan FISIP Unila

“Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tetapi Indonesia baru akan bercahaya dengan lilin-lilin di desa”

Bung Hatta

RADARLAMPUNG.CO.ID-Pernyataan Bung Hatta ini mengingatkan kita akan pentingnya membangun desa. Indonesia akan bangkit jika desa-desa bangkit. Desa adalah penopang dan pondasi pembangunan nasional. Hal ini juga sejalan dengan nawacita Presiden Joko Widodo yang akan melakukan pembangunan dari pinggiran. Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, ditambah kucuran dana desa oleh pemerintah pusat keseluruh desa memberikan angin segar bagi berkembangnya pembangunan di desa.

Namun, sejauh ini harapan tersebut belum sepenuhnya tercapai,  desa masih dihadapkan dengan berbagai hambatan dan permasalahan. Sebagaimana dikutip dari Pola Ruang: Desa dan Kota (2018) ada 3 hal utama masalah yang ada di desa antara lain: pertama, masyarakat desa masih banyak yang mengalami kekurangan pangan dan gizi, akses dan penanganan kesehatan yang kurang memadai, anak putus sekolah dan perkawinan dibawah umur.

Kedua, masih ada masalah dalam struktur dan adaptasi pemerintahan desa. Banyak aparatur yang belum menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana mestinya. Koordinasi dan pelayanan publik oleh pemerintahan desa belum berjalan efektif dan masih adanya praktik penyelewengan dana dan bantuan dari pemerintah yang lebih tinggi. Ketiga, masalah geografis yang sangat beragam dengan masalahnya masing-masing, daerah terpencil terkendala  infrastruktur, akses listrik, dan teknologi. Sementara desa yang berkembang juga terkendala masalah sanitasi, perumahan dan pembangunan. Dari ketiga masalah tersebut, keberadaan pemerintah desa menjadi penentu keberhasilan desa dalam menyelenggarakan pembangunan desa.

Peran Pemerintah Desa

Menurut HAW Widjaja dalam bukunya Otonomi Desa menyatakan bahwa pemerintahan desa adalah subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanannya kepada Bupati (Widjaja, 2003).

Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain, dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa secara eksplisit memberikan tugas pada pemerintah desa yaitu penyelenggara pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat yang berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Dengan tujuan dasar untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial (Sugiman, 2018).

Peran pemerintah desa sangat strategis dalam mengarahkan dan mengoptimalkan sumber daya desa untuk kesejahteraan dan pembangunan di desa. Pemerintah desa memiliki kemampuan atas kewenangan yang dimilikinya untuk memanfaatkan sumberdaya  dan dana dalam masyarakat serta membangun partisipasi aktif masyarakat desa dalam pembangunan desa. Pemerintahan desa yang responsif, adaptif dan inovatif nantinya diharapkan menjadi motor penggerak utama dalam meningkatkan pembangunan desa. Diperlukan pengelolaan organisasi pemerintah desa yang mampu beradaptasi dengan cepat atas berbagai perubahan dan tantangan yang ada.

Learning Organization Pemerintah Desa

Learning Organization atau organisasi pembelajar pertama kali dicetuskan oleh Peter Senge dalam bukunya The Fifth Discipline (1990). Menurut Senge, keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam mengembangkan institusinya menjadi organisasi pembelajar. Senge juga menyampaikan bahwa organisasi pembelajar merupakan wadah bagi orang-orang yang terus meningkatkan kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang diharapkan. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, Senge menyarankan penggunaan 5 komponen teknologi yaitu pemikiran sistem, penguasaan pribadi, model mental, visi bersama dan pembelajaran tim.

Parmono 2001 (dalam Haryanti, 2006) menyatakan bahwa upaya pembentukan organisasi pembelajar (learning organization) harus memperhatikan faktor-faktor budaya, strategi, struktur dan lingkungan organisasi yang bersangkutan. Lebih jauh dikemukakan bahwa ada delapan karakteristik yang harus dimiliki oleh organisasi agar berhasil menjadi organisasi pembelajaran, yaitu :

  1. Adanya peluang untuk belajar bagi seluruh komponen yang ada dalam organisasi, bukan hanya secara formal tetapi juga terwujud dalam aktivitas sehari-hari.
  2. Adanya perancangan struktur dan budaya organisasi yang menjamin, merangsang, dan memungkinkan seluruh komponen yang ada dalam organisasi untuk belajar, menanyakan praktek manajemen yang ada selama ini, bereksperimen, dan berkontribusi dengan ide-ide baru yang lebih segar.
  3. Adanya insentif bagi para manajer yang selalu menggunakan prinsip keterbukaan dan partisipatif dalam setiap proses pengambilan keputusan.
  4. Adanya prinsip penerimaan terhadap kemungkinan timbulnya kesalahan sebagai bagian dari proses pembelajaran.
  5. Adanya kesempatan dan hak yang sama bagi seluruh karyawan tanpa terkecuali untuk melakukan kegiatan pembelajaran.
  6. Adanya keterbukaan sistem manajemen data dan akuntansi yang bisa diakses oleh para pengguna yang lebih luas namun berkompeten.
  7. Semakin kaburnya batas-batas yang ada antar karyawan dan antar departemen sehingga memungkinkan terciptanya keterbukaan komunikasi dan hubungan pemasok-pelanggan (supplier-customer relationship) dalam setiap tahapan proses manajemen.
  8. Adanya pemahaman bahwa keputusan pimpinan bukanlah solusi yang lengkap tetapi lebih sebagai eksperimen yang masuk akal (rational experiment).

Organisasi pembelajar (learning organization) yang diterapkan pemerintah desa akan membentuk budaya belajar dan bertumbuh. Aparat desa diberikan kesempatan belajar dalam menjalakan peran dan tugas organisasinya. Membangun partisipasi dalam kebijakan dan program desa dengan akuntabilitas kinerja yang terukur. Mendasarkan berbagai kebijakan dan program atas objetifitas dan data sesuai kebutuhan dan terbangunnya kerjasama tim yang kompak dan solid dengan visi dan tujuan yang sama.

Learning organization yang membuat organisasi eksis dan dapat beradaptasi dengan berbagai perubahan dan masalah yang ada. organisasi pembelajar merupakan organisasi yang sangat adaptif dan responsif terhadap lingkungan eksternalnya dan sekaligus kuat lingkungan internalnya. Pemerintah Desa yang menerapkan learning organization (organisasi pembelajar) memiliki kemampuan adaptasi dan inovasi yang tinggi atas berbagai tantangan dan kendala baik internal desa maupun ekseternal desa.

Sebagaimana pandemi yang melanda 2 tahun terakhir juga memberikan ekses negatif pada pembangunan desa, diantaranya kesehatan warga yang terinfeksi covid-19,  realokasi anggaran dana desa kepada bantuan sosial warga, penurunan pendapatan warga, dan lainnya.

Kesemuanya itu membutuhkan respon pemerintah desa atas kondisi yang penuh ketidakpastian, perubahan yang sangat cepat, kompleksitas masalah dan sulit diramalkan.

Bila organisasi tidak tanggap dengan perubahan-perubahan tersebut, maka lama-kelamaan organisasi itu akan tertinggal, ditinggalkan anggotanya, dan akhirnya bubar (mati). Desapun begitu. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: