Cegah Sentimen Bernarasi Negatif dengan Komunikasi Publik yang Beretika

Cegah Sentimen Bernarasi Negatif dengan Komunikasi Publik yang Beretika

Oleh Vincensius Soma Ferrer dan Dedi Sonata Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi, FISIP Unila Ingatan adalah sesuatu yang terekam dalam kepala. Ia bersifat elusi, atau sulit untuk didefinisikan, namun amat dirasakan kehadirannya. Sebelum menutup tahun 2021, mari sedikit kita ingat sejumlah isu publik yang menjadi sorotan masyarakat dan berpotensi untuk menimbulkan gelombang misinformasi (hoaks), ujaran kebencian maupun sentimen negatif publik. Mulai dari polemik penanganan dan pencegahan covid-19, seperti polemik vaksin Covid-19, masyarakat pasti sangat ingat tentang kabar mengenai adanya berita vaksin covid-19 yang palsu pada pertengahan tahun 2021 kemarin. Kabar ini sangat membuat masyarakat khawatir karenanya, terlebih bagi mereka yang telah melakukan vaksinasi covid-19 beberapa waktu sebelum kabar tersebut memasyarakat. Menjadi desas-desus dunia maya di Indonesia pula soal penyuntikan vaksin kosong. Dalam bentuk tayangan, proses penyuntikan vaksin kosong ini tersebar ke masyarakat melalui berbagai media sosial Ditambah lagi ledakan penambahan kasus covid-19, yang sempat terjadi di Indonesia sehingga seluruh Nusantara di haruskan untuk menerapkan pembatasan aktivitas melalui kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Terbatasnya aktivitas sosial hingga lumpuhnya aktivitas ekonomi menjadi rasa yang tak pernah dilupa bagi masyarakat sebagai makhluk sosial yang perlu hidup. Beberapa hal lain yang menjadi sentimen negatif publik dari penanganan covid-19 yang terjadi tahun 2021, seperti penanganan rumah sakit rujukan, pilah-pilih jenis vaksin covid-19 hingga kekerasan dari petugas pengawas protokol kesehatan. Dibalik semua itu, terkait pandemi covid-19 di tahun 2019, sisi baik yang yang bersifat kemanusiaan juga muncul. Dimana, masyarakat Indonesia sudah tidak memandang pasien positif covid-19 sebagai hal yang buruk. Banyak sudah tindakan saling suport agar pasien lebih semangat lekas sembuh. Sebagai pembanding, mari kita ingat sejenak bagaimana sentimen masyarakat terhadap pasien covid-19 dan korban meninggal akibat covid-19 di awal tahun 2020 lalu. Diluar pandemi, masih banyak sentimen negatif masyarakat Indonesia hadir di tahun 2021, kita berikan contoh seperti dinamika geopolitik global, kondisi politik nasional, dan kebijakan sosial lainnya yang berpotensi untuk menimbulkan gelombang misinformasi (hoaks), ujaran kebencian maupun sentimen negatif publik. Sentimen-sentimen warga negara bila terus dibiarkan akan sangat berbahaya. Dampak yang paling besar yang besar kemungkinan untuk terjadi seperti kegaduhan antar kelompok hingga perpecahan bangsa. Sebagai praktisi kebijakan, baik di tataran pemerintah pusat maupun daerah, pemerintah, terdapat tanggung jawab penting untuk menjaga agar informasi yang ada di publik tidak berdampak buruk bagi masyarakat dan menjerumuskan publik pada hal-hal negatif yang dapat menimbulkan kericuhan. Berpikiran progresif, komunikasi yang berstrategi, serta mampu membuat narasi pesan yang positif adalah tindakan yang harus benar-benar sampai di telinga masyarakat agar terbangun narasi optimisme tentang Indonesia yang lebih produktif dan kondusif menjadi hal yang harus diperbaiki di tahun 2022. Hal itu sejalan dengan amanah fungsi aparatur sipil negara dalam pasal 10 UU ASN, yakni perekat dan pemersatu bangsa. Fungsi ASN dalam hal ini masih sangat relevan, pasalnya budaya Indonesia masih terajut rapi oleh masyarakat akibat masih dijunjungnya etik dan norma. Menurut Dwiyanto (2002), etika dalam konteks birokrasi merupakan suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan terhadap masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Johannesen (1996) membedakan antara kebijakan dan hukum dengan Ethics (etika). Secara umum aturan produk kebijakan bersifat mengikat, formil dan memberikan sanksi. Dasar penyusunan produk kebijakan berfokus pada kebutuhan masyarakat sementara etika berkait dengan kebutuhan sosial, yakni pilihan tindakan baik dan buruk atau pilihan diantara keduanya (grey area). Etika merupakan seperangkat moral yang mengatur tingkah laku manusia. Etika merupakan dasar pondasi kemajuan peradaban. Kemajuan peradaban suatu masyarakat diukur dengan sistem etika yang dianut dan dilaksanakan oleh individunya. Demikian pula dalam sebuah organisasi atau korporasi kemajuan dan perkembangannya dapat diukur dengan seberapa bagus nilai dan norma yang dibuat dan seberapa jauh implementasi yang telah dilaksanakan oleh sivitas anggota organisasi tersebut. Komunikasi dengan etika, sangat memberikan pengaruh di masyarakat dibanding dengan penegakan kebijakan secara tegas dan garang. Dengan etika yang baik dalam komunikasi pemerintah, masyarakat akan lebih menghargai penyampainya dan apa yang disampaikan. Setelah membahas perkembangan isu yang menghadirkan polemik di tahun 2021 dengan etika komunikasi pelaksana kebijakan, disimpulkan diperlukan etika yang baik dalam penyampaian hal kepada publik agar dalam pelaksanaan kebijakan dapat maksimal tanpa ada hal yang dilanggar satupun dan agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dirasakan dengan baik oleh masyarakat itu sendiri tanpa adanya sentimen-sentimen negatif. Ketika berbicara, pelaksana kebijakan tidak boleh berbicara soal seragam, ia tak boleh berbicara hanya soal proses dan hasil dari sebuah kebijakan. Sisi humanis agar penerima kebijakan, dalam hal ini masyarakat harus dikedepankan, bahwa hal yang menyentuh hati lebih diharapkan dibanding pelaksanaan kebijakan yang ngotot berorientasi pada hasil. Etika berkomunikasi yang baik tidak hanya jalan keluar untuk permasalahan isu publik dengan sentimen masyarakat yang negatif, tetapi juga menjaga keharmonisan antar sesama manusia. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: