Iklan Bos Aca Header Detail

Pidato Presiden di Forum IMF Bali Seperti Alunan Dawai Tanpa Makna!

Pidato Presiden di Forum IMF Bali Seperti Alunan Dawai Tanpa Makna!

Radarlampung.co.id - Pidato Presiden Joko Widodo di Forum IMF di Bali menganalogikan perdagangan dunia seperti perang yang terjadi dalam film fiksi Game Of Thorn. Pidato terhormat yang dibacakan oleh kepala negara itu terkesan seperti alunan dawai yang tanpa makna. Mantan Anggota Komnas HAM yang kini menjadi Aktivis kemanusiaan, Natalius Pigai mengatakan pidato yang dibacakan seorang pemimpin negara seharusnya mewakili kehormatan bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Ia menyayangkan, pidato terhormat tersebut dianalogikan ke film fiksi yang berisi adegan amoralitas dan kekerasan sehingga terkesan menjadi pidato tanpa bermakna. “Presiden tidak pahami bawah diawal cerita saja sudah dimulai dengan kamatian Jhon Arryn, Istri King Robert berzina dengan saudara kandung sendiri, Daenerys jual diri kepada Drogo, King Robert dan Stark bergabung merebut kembali kerajaan di selatan. Itulah Intisari film dimana isinya hanya; mengandung nilai amoralitas seperti perang, kematian, jual diri, adik dan Kaka kandung berhubungan badan. Film tidak patut jadi analogi di pidato terhormat seorang kepala negara,” kata Aktivis Kemanusiaan, Natalius Pigai kepada Fajar Indonesia Network (FIN) melalui WhatsApp, Minggu (14/10). Pigai menegaskan persaingan yang terjadi antar negara-negara maju di dunia perdagangan dan dianalogikan dengan Game Of Thorn sangat tidak tepat sasaran. Menurut Pigai, seharusnya pidato tersebut lebih ditekankan bagaimana pentingnya kolaborasi dan memberikan kesadaran Menkeu dan gubernur bank sentral seluruh dunia untuk bekerja sama dalam mengurangi dunia perekonomian. “Sebaiknya pidato tersebut lebih menekankan kepada pentingnya kolaborasi dan memberikan kesadaran Menkeu dan gubernur bank sentral seluruh dunia untuk bekerja sama dalam mengurangi dunia perekonomian yang tengah mengalami eskalasi dalam perang perdagangan, capital outflow. Padahal istilah perang dagang itu paradigma lama, kemudian berubah menjadi kompetitif dan kini resiprokal,” tegas aktivis asal Provinsi Papua ini. Di sisi lain, Pigai memahami bahwa Pidato Jokowi di Bali itu hanya sekedar pidato bernuansa politik terkait dengan Pilpres 2019 untuk menunjukkan dirinya luwes,lincah membawa orang dalam imajinasi seakan-akan berada dalam dunia gaul dan kaum milenial. “Tetapi secara substansial hanya bisa membuat para pemimpin dunia tertawa berbahak-bahak bahwa pemimpin di negara ini kurang memahami persaingan dan kompetisi melalui sebuah mekanisme sistem perdagangan dunia. Jangan bertanya pada Amerika dan Uni Eropa, justru kita mesti merasa  aneh dan banyak orang bertanya bagaimana mungkin negara China Komunis bisa memainkan mekanisme liberalisasi. Inilah rahasia  (inner circle) politik Dagang China yang tidak banyak diketahui publik juga oleh pemimpin negeri ini,” imbuhnya. Dia melanjutakan inti persoalan utama tidak hanya soal petunjuk teknis perdagangan yang tertuang dalam berbagai peraturan  dan juga petunjuk pelaksanaan melalui peraturan Menteri terkait  yang akan dirumuskan, tetapi masalah yang paling substansial adalah menabrak bahkan melampaui, jauh lebih liberal dari prinsip kepentingan bangsa dan negara yang justru tiap negara diberi keleluasaan menentukan hambatan (barier) di dalam perjanjian multilateral melalui general agreement on trade and tariff and Services (GATS) yang dihasilkan dalam putaran Uruguay (Uruguay Round) oleh World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. “Pemerintah perlu pahami bahwa Liberalisasi perdagangan bebas bukan berarti sangat liberal dan dunia tanpa batas (borderles nations) seperti yang digambarkan oleh Kunichi Ohmae. Berdasarkan perjanjian GATS dan juga GATT dalam WTO setiap negara diberi kewenangan untuk menentukan kepentingan nasional, salah satunya adalah antara lain Tes Kebutuhan Economi (Economic Need Test/ENT). Tes untung dan rugi bagi kepentingan negara Indonesia. Hal ini berlaku bagi seluruh negara-negara di dunia baik negara maju  maupun juga negara berkembang dalam hal ini disebut Free Trade Mechanism (FTM) atau mekanisme liberalisasi perdagangan dunia,” katanya. “Pidato Jokowi di Bali itu menunjukkan seakan-akan kita berada dalam sebuah perang dunia ke empat sebagaimana disampaikan oleh Marcon. Jokowi salah besar, karena pemrintah seharusnya  melakukan perdagangan barang dan jasa melalui mekanisme permintaan (request) dan penawaran (offer) dari antar negara sebagai  mekanisme baku yang dihormati dalam perjanjian multilateral yaitu dirumuskan dalam penjanjian resiprokal dan saling pengakuan (Mutual Recognition Agreement/MRA),”tandasnya. (fin/ang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: