Lampung Sebagai 'Prototype' Pemilu dan Pilkada Serentak 2024

Lampung Sebagai 'Prototype' Pemilu dan Pilkada Serentak 2024

Satria Prayoga, sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan Peneliti Pemilu dan Pilkada--

"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)." Karena sebagai sebuah pelanggaran administratif bagi peserta pemilu. Hal ini merupakan ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI untuk mengusutnya berdasarkan Peraturan KPU.

Jo Pasal 198 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 :

“ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan atau menghalang-halangi Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Disini Penulis hanya mencoba untuk sama-sama mengingatkan. Bahwa didalam negara hukum dalam menyikapi setiap kegaduhan yang ada dimasyarakat untuk sama-sama kita coba selesaikan dengan santun dan bijaksana. Jangan malah masyarakat dimanfaatkan dengan kegaduhan-kegaduhan yang ada dimedia sosial tersebut tanpa ada yang mau untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, pemanfaatan media sosial harusnya pada saat masuk jadwal kampanye dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai sarana menuangkan sebuah visi misi bagi para kontestan politik, baik itu calon Presiden, calon Legislatif dan calon Kepala Daerah dengan menuangkan kelebihan-kelebihan calon dan kekurangan-kekurangan incumbent sebagai lawan politiknya secara “fair play”.

Kita tidak tahu siapa saja para pengguna media sosial baik dari kategori umur dan latar belakang pendidikan dalam menyikapi dinamika perpolitikan yang telah masuk tahun politik ini, terlebih bagi mereka generasi-generasi baby boomers yang dari segi emosional belum bisa untuk mengontrol diri atara pengetahuan politik dan etika dalam mengutarakan pendapat belum ada keseimbangan.

Untuk itu, pendidikan politik terhadap generasi-generasi baby boomers sebagai pengguna aktif media sosial perlu menjadi perhatian bagi pemerintah, karena terhadap mereka menjadi obyek bagi accont-accont fake untuk mendoktrin membuat kegaduhan dalam mencapai tujuan politiknya.

Generasi baby boomers sebaiknya lebih diberikan pengetahuan antara keseimbangan Hak dan Kewajiban terhadap negara, bahwa keritik adalah hak kepada negara yang harus disampaikan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif sebagaimana Pasal 64 Ayat (3) Undang-Undang Pilkada, namun sebelum menuntut hak, ada baiknya kita sama-sama intropeksi terlebih dahulu apa yang sudah kita berikan kepada negara sebagai bentuk kewajiban tanggungjawab kita sebagai masyarakat terhadap negara. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: