Membangun Rezim Anti Cyber Laundering di Indonesia: Inovasi Hukum di Era Digital

Membangun Rezim Anti Cyber Laundering di Indonesia: Inovasi Hukum di Era Digital

Membangun Rezim Anti Cyber Laundering di Indonesia Inovasi Hukum di Era Digital--dok Universitas Lampung

Seri Orasi Ilmiah

Oleh Prof. Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H

RADARLAMPUNG.CO.ID-Prof.Dr. Eddy Rifai SH.,MH adalah salah satu guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Lampung atau Unila

Dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar Eddy Rifai menyoroti soal cyber laundering di Indonesia. 

Menurutnya, vyber laundering pada hakikatnya merupakan penetrasi teknologi atau cyber yang bermanifestasi menjadi sarana kejahatan. 

Secara khusus kejahatan siber tersebut dieksploitasi untuk melakukan kegiatan pencucian uang (money laundering). 

Terminologi cyber laundering ini juga banyak yang menyebut sebagai electronic money laundering yang dewasa ini banyak merujuk pada perkembangan digitalisasi terkait dengan munculnya digital assets, crypto currencies, virtual currencies, financial technology dan beberapa hal lain, yang secara khusus ditujukan untuk melakukan kegiatan pencucian uang.

Masalah pencucian uang baru dinyatakan sebagai tindak pidana oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003, dan terakhir diamandemen dengan Undang Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU). Dengan adanya UU TPPU, pembuat undang-undang mengkriminalkan tindak pidana pencucian uang (money laundering) menjadi perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

Dalam penutup orasi ilmiahnya, Eddy menyebut modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi canggih. 

Sehingganya hal ini menimbulkan tindak pidana pencucian uang melalui dunia maya atau cyber laundering. 

Beberapa modus operandi tindak pidana cyber laundering antara lain memanfaatkan layanan online perbankan; pemanfaatan kartu prabayar untuk membayar layanan, barang dagangan dan menarik uang tunai dari ATM; menyalahgunakan layanan judi online atau mendirikan perusahaan judi online untuk membersihkan uang hasil kejahatan; memanfaatkan game online atau layanan sosial online. 

Karena itu lanjutnya, konstruksi rezim anti cyber laundering di Indonesia harus mengoptimalkan kedudukan PPATK, mengharmoniskan mekanisme pelaporan dan pengawasan, memperkuat kerjasama internasional, membangun digital identification system yang muktahir, serta pemberdayaan teknologi pada setiap instansi yang berkaitan dengan pencucian uang diserta dengan tenaga ahli yang kompeten. 

Selain itu, imbuhnya, perlu dibuat aturan khusus terkait cyber laundering dengan tetap mengakomodasi dua rezim hukum yang terpisah yakni, UU TPPU sebagai lex specialis dan UU ITE sebagai pelengkap. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: