Kerusakan Hutan TNBBS Disebut Warisan Eksploitasi Era Orde Baru
Kondisi terkini dampak banjir bandang di Suoh, Lampung Barat. Kerusakan TNBBS akibat perambahan menjadi salah satu pemicu bencana. --
LAMPUNG BARAT, RADARLAMPUNG.CO.ID – Rusaknya ribuan hektare kawasan hutan konservasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), khususnya di Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS), ternyata bukan fenomena baru.
Kerusakan tersebut disebut-sebut sebagai warisan eksploitasi besar-besaran yang dilakukan perusahaan kayu pada masa Orde Baru, tepatnya sejak era 1970-an.
Anggota DPRD Lampung Barat dari daerah pemilihan Suoh–BNS, Sugeng Kinaryo Adi, menyebut bahwa aktivitas pembalakan liar di wilayah itu telah berlangsung sejak lima dekade lalu. Salah satu aktor utamanya adalah PT Tanjung Jati, perusahaan milik Nyonya Awi, yang menurutnya telah menebangi hutan dari kawasan Kota Agung Utara hingga ke Suoh secara masif pada tahun 1970-an.
"Ini bukan isapan jempol. Sampai sekarang masyarakat masih menemukan besi tua dan sisa-sisa alat berat peninggalan perusahaan di kawasan hutan," kata Sugeng.
Pada masa itu, pemerintah mengeluarkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada sejumlah perusahaan besar untuk mengekstraksi kayu bernilai tinggi dari hutan primer. PT Tanjung Jati termasuk salah satu yang mendapatkan izin tersebut dan membuka akses luas melalui jalan logging. Setelah kayu diambil, lahan dibiarkan terbuka dan akhirnya digarap oleh masyarakat, yang sebagian besar menanaminya dengan kopi robusta.
BACA JUGA:Ditembak Tiga Kali, Anggota Satpol PP Gagalkan Aksi Curanmor
Sugeng menilai bahwa akar kerusakan bukan sepenuhnya karena aktivitas masyarakat saat ini. Ia menegaskan bahwa pembalakan legal pada masa lalu justru menjadi titik awal degradasi hutan di TNBBS.
“Kalau hari ini masyarakat disalahkan sepenuhnya, itu tidak adil. Masyarakat sekarang hanya mengelola lahan yang sudah lama ditinggalkan. Tapi saya tegaskan juga, kalau ada pembukaan lahan baru, itu harus ditindak tegas,” ujarnya.
Ia bahkan menyebut telah menerima laporan mengenai pembukaan lahan baru seluas 15 hektare di kawasan Bukit Medati. "Kalau laporan itu benar, maka aparat penegak hukum harus segera bertindak. Siapa pun yang terlibat harus diproses, termasuk jika ada oknum yang bermain di baliknya," tegas Sugeng.
Data Balai Besar TNBBS mencatat, hingga tahun 2022, setidaknya terdapat 11.102 hektare lahan terbuka di wilayah Suoh dan BNS yang telah dihuni sekitar 4.517 kepala keluarga. Total area perambahan di seluruh kawasan TNBBS mencapai 29.207,45 hektare dengan 16.360 kepala keluarga tinggal di dalamnya.
BACA JUGA:Infinix XPAD 20 Pro Meluncur dengan Layar 12 Inci, Intip Performa dan Harganya
Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan tidak hanya menggerus tutupan hutan, tetapi juga melemahkan fungsi ekologis TNBBS sebagai kawasan tangkapan air. Dampaknya kini semakin terasa: banjir bandang di wilayah Suoh–BNS serta meningkatnya konflik antara manusia dan satwa liar seperti gajah dan harimau.
“Warisan kerusakan ini tidak bisa dibiarkan. Solusinya bukan hanya tindakan hukum, tapi juga pendekatan berkelanjutan untuk memulihkan fungsi hutan dan menjamin hak hidup masyarakat,” pungkas Sugeng.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
