radarlampung.co.id - Ini lagi musim panas di Tiongkok. Tapi saya kedinginan. Di atas ketinggian 4.200 meter ini. Di pegunungan suku minoritas Sichuan ini. Tapi ada kambing goreng. Ada sop iga sapi. Ada mie kuah panas. Perut bisa terasa hangat. Ups… Ada foto Mahathir Muhamad. Bersama istri. Di restoran Muslim ini. Di dusun Aba. Kecamatan Huang Long. Yang begitu terpencil di ketinggian. Inilah sisi timur pegunungan Himalaya. Timur jauh. Saya juga dikira dari Malaysia. Disuguhi makanan yang disukai foto di dinding itu. Yang ke restoran ini tahun 2006 itu. Kambing gorengnya istimewa. Menggorengnya. Maupun bumbunya. Sop iganya luar biasa. Dari sapi yang tidak biasa. Yang bulunya begitu banyaknya. Menjuntai sampai seperti tirai. Itulah sapi lokal. Berwarna hitam. Disebut mao niu. 牦牛. Yang bisa hidup di ketinggian segitu. Dengan kedinginan segitu. Yang tidak mungkin sapi biasa, bisa berjaya. Saya ditemani anak muda. Ada kalung emas di lehernya. Ada senyum ceria di wajahnya. Selalu. Namanya Abu. “Kami tidak punya marga,” kata Abu. Di Tiongkok orang selalu menyebutkan marga. Saat pertama berjumpa. Atau bertanya marganya apa. Bila ingin tahu nama kenalan barunya. “Saya orang Hui,” kata Abu. Dengan menyebut dirinya Hui, Abu ingin bicara dua. Sukunya Hui. Agamanya Islam. Di Tiongkok suku Hui pasti beragama Islam. Orang Islam pasti dari suku Hui. Memang ada suku lain yang mayoritas beragama Islam. Yakni suku Uyghur. Di propinsi Xinjiang. Tapi mereka menyebut diri bukan huaren –bukan orang Tionghoa. Abu lantas membawa kami ke rumah lain. Ke penduduk suku Changzu. Juga minoritas. Di pegunungan yang sama tinggi dengan Jayawijaya itu. Makanan yang disajikan juga sama: sapi bulu, kambing, ayam dan sedikit sayur. Tidak banyak jenis sayur yang bisa ditanam di situ. Rumah ini sudah mirip tujuan wisata. Yang dijalankan oleh 11 bersaudara. Semuanya bisa menari. Tari Changzu. Bisa menyanyi. Lagu apa saja. Saudara ke-6-nya bahkan lagi masuk final. Di Beijing. Suaranya enak sekali. Didemokan di depan kami. Kesebelasan itu juga bisa masak. Yang disajikan itu. Yang menari, yang menyanyi, yang masak dengan api, semuanya sama. Ibunya satu. Ayahnya lima. Semua ada di dalam satu rumah itu. Memang begitu: wanita Changzu boleh punya suami lebih dari satu. “Kami tidak saling tahu yang mana ayah kami,” katanya. Mereka juga tidak peduli. Tidak pernah mencari. Yang mana pun ayahnya sama. Mereka bersaudara. Asal para suami itu kakak-adik. Tapi jarang yang poliandri seperti itu. Yang lebih banyak adalah poligami: laki-laki punya istri lebih dari satu. Syaratnya sama: para istri itu harus bersaudara. Kakak beradik. Ada yang istrinya sampai lima. Berarti lima bersaudara. Tinggal di satu rumah. Kalau malam para istri harus tahu: ada kalung siapa di pintu. Yang disangkutkan di pintu. Berarti si pemilik kalung ada di dalamnya. Istri lain tidak akan memasukinya. Mereka rukun. Begitu pula untuk yang banyak suami. Juga harus tahu: ada sepatu siapa di depan pintu. Suami lain tidak akan ke situ. Mereka menceritakan itu dengan terbuka. Bukan suatu rahasia. Atau hal yang tercela. Itu budaya warisan. Yang mereka pelihara. Ketegangan tidak terjadi. Di rumah itu. Kata mereka. Adat mengajarkan tidak banyak kata. Terutama bagi wanita. Di depan pria. Atau anak-anak. Di depan yang dewasa. Anak muda. Di depan yang tua. Hasil usaha 11 bersaudara itu tidak dibagi. Dipakai kecukupan bersama. Rumah, makan, pakaian, dan keperluan harian lainnya. Kalau ada kelebihan diserahkan ke pagoda. Ke klenteng suku u. Yang ahongnya (kyainya) mereka junjung tinggi. Semua gunung itu milik mereka. Semua alam itu milik mereka. Tidak perlu rakus. Suku ini kecil sekali. Penduduk sedikit sekali. Alamnya begitu luas. Air terjunnya di mana-mana. Tidak khawatir tidak bisa makan. Tidak perlu jas dan dasi. Kuda bisa membawa mereka pergi. Terasa damai. Di pegunungan ini. (dis)
Kalung Dan Sepatu Di Depan Pintu
Sabtu 01-09-2018,10:13 WIB
Editor : Redaksi
Kategori :