radarlampung.co.id - Terpaksa bermalam di Las Vegas, kemarin. Tidak kuat lagi untuk terus mengemudi. Tidak ada John Mohn. Tidak bisa bergantian. Pukul 07:00 pagi saya meninggalkan rumah drg Ibrahim Irawan di Arcadia itu. Di timur Los Angeles itu. Pukul 19:00 baru tiba di tempat ini. Sekitar 40 Kilometer menjelang Las Vegas. Berarti hampir 12 jam saya berada di belakang kemudi. Untung matahari masih agak tinggi. Bisa melihat apa yang selama ini saya cari: CSP di gurun Nevada. Saat CSP pertama kali dicoba saya penasaran. Pertama di dunia. Ingin segera melihat. Di Spanyol. Di padang Sevilla. Tapi kala itu saya masih menteri. Tidak bisa sering ke luar negeri. Awal 2015 baru ada kesempatan. Ketika bersama keluarga ke Madrid, Valencia dan Barcelona. Malam tahun baru itu saya hanya sebentar. Melihat keramaian terompet di Plaza Major. Madrid. Saya ada rahasia: pukul 05:00 pagi ingin bangun. Ingin ke Sevilla. Sendirian. Biarlah istri dan anak cucu meneruskan tidur mereka. Pukul 09:00 saya baru tiba kembali di Madrid. ”Dari mana? Dengan siapa? Mengapa?,” tanya istri saya. Saat itu mereka lagi ramai sarapan pagi. “Dari lihat CSP. Teknologi baru,” jawab saya. Tidak ada pertanyaan lanjutan. Mereka tahu kebiasaan saya: mendalami apa yang mereka tidak mengerti. Tapi cucu saya yang bertanya. Apa itu CSP? Demi masa depan mereka saya harus jelaskan semua. “Di sekolah kalian pernah ada praktik membakar kertas dengan kaca cermin?” tanya saya balik. ”Pernah…,” sahutnya. Cucu yang lain ikut nimbrung. Saya beri kesempatan mereka bersautan. Menceritakan bagaimana membakar kertas dengan cermin cembung. Di sekolah masing-masing. ”Cara itu sekarang dipakai untuk membuat pembangkit listrik,” kata saya. ”Disebut CSP. Concentrated Solar Power,” tambah saya. Saya tidak perlu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Semua cucu saya saling bicara dalam bahasa Inggris. Sehari-harinya. Yang dua mulai belajar Mandarin pula. Lalu saya tunjukkan foto-foto kunjungan saya. Ribuan cermin raksasa. Dipasang melingkar. Di atas tanah tandus. Satu cermin lebarnya 6 x 8 meter. Jumlahnya 20 ribu. Saat tiba di Sevilla, matahari hampir terbit. Dari kejauhan terlihat sinar seperti di film Starwars. Dari bawah ke atas. Mencong. Sinar itu berhenti di satu titik. Di atas satu tower. Setinggi 100 meter. “Itu dia CSP-nya,” kata saya dalam hati. Pandangan saya tidak lepas dari sinar itu. Kian dekat. Kian terlihat bagian bawahnya. Lingkaran ribuan cermin itu. Matahari kian tinggi. Sinar itu tidak terlihat lagi. Kalah dengan terangnya matahari. Tapi daya panasnya justru meningkat. Panas dari ribuan cermin itu mengarah ke satu fokus. Ke benda yang ada di puncak tower itu. Tentu benda itu bukan kertas. Pasti sudah menyala. Benda itu material khusus. Yang bisa menerima panas. Tapi tidak hangus. Di dalam benda itu ada air. Airnya mendidih.Menghasilkan uap. Uapnya diberi tekanan. Untuk memutar turbin. Turbinnya memutar generator. Jadilah listrik. Itulah pertama kali CSP lahir di dunia. Biayanya mahal sekali. Banyak kesalahan harus dikoreksi. Dana Timur Tengah ikut mengatasi. Dua tahun kemudian saya dapat kabar baru: Tiongkok sudah bisa membuatnya. Begitu cepat negeri itu menyerapnya. Di Nevada juga. Di dekat Las Vegas itu. Saya ingin melihat dua-duanya. Saya ke Tiongkok. Ke kawasan yang bukan main jauhnya: Qinghai. Di atas pegunungan pula. Di dataran yang lebih 4 ribu meter tingginya. Yang banyak masjidnya. Banyak kambing bakarnya. Banyak sapi berbulunya. Banyak jenis babi yang makannya rumput. Di gembala bersama domba. Yang juga lagi dicoba menanam quinoa. Satu jenis padi-padian. Yang hanya bisa hidup di atas ketinggian 4 ribu meter. Yang aslinya dari Bolivia. Yang Unesco menyatakan: makanan paling bergizi di dunia. Yang di Jakarta beras quinoa ini Rp 200 ribu/kg harganya. Kini saya bisa melihat CSP di Nevada. Sama sulitnya. Harus mengemudikan mobil begitu jauhnya. Melewati padang Nevada yang begitu panasnya, ingatan saya melayang ke Sumba. (dis)
Sevilla dan Nevada Mengingatkan Sumba
Minggu 02-09-2018,10:21 WIB
Editor : Redaksi
Kategori :