radarlampung.co.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) provinsi Lampung mencatat, selama pandemi COVID-19, Perusahaan Pembiayaan di Lampung telah melakukan restrukturisasi sebanyak 81.034 kontrak dengan outstanding pokok kredit yang direalisasi mencapai Rp2,83 triliun, hingga 17 Juli 2020
Kepala OJK Provinsi Lampung, Bambang Hermanto mengatakan, berdasarkan data, sejak April 2020, jumlah kontrak pembiayaan yang disetujui terus meningkat. Penambahan kontrak pembiayaan disetujui paling signifikan terjadi di bulan Juni 2020 dengan penambahan mencapai 38.061 kontrak pembiayaan.
“Untuk jenis relaksasi kredit yang diberikan kepada perusahaan pembiayaan antara lain berupa perpanjangan tenor dan grace period (tenggat waktu pembayaran, red) 3-6 bulan, partial payment dan holiday payment,” katanya.
Dia menambahkan, penyaluran relaksasi kredit perusahaan pembiayaan sendiri masih terkendala dengan beberapa hal seperti proses persetujuan yang masih terpusat, kurangnya pemahaman karyawan dan nasabah terkait kebijakan relaksasi dan kepemilikan kendaraan yang sudah tidak jelas.
Di samping itu, Bambang mengatakan, berdasarkan data secara keseluruhan, ada 58 entitas perusahaan pembiayaan di Lampung. Terhitung hingga Mei 2020, kontrak pembiayaan telah mencapai 464.610 dengan piutang terhitung mencapai Rp8,45 triliun. Sedangkan posisi non performing loan (NPL) sebesar 4,87 persen.
“Meski begitu untuk NPL masih terjaga, karena berada di bawah batas maksimal NPL, yakni sebesar 5 persen,” tambahnya.
Lebih jauh dia mengatakan, piutang perusahaan pembiayaan di Lampung sendiri dibagi berdasarkan dua hal. Yakni kegiatan usaha dan sektor ekonomi.
Untuk bentuk piutang berdasarkan kegiatan usaha paling banyak berada di sektor pembiayaan multiguna yang terhitung mencapai 67 persen, pembiayaan investasi 28 persen, pembiayaan multiguna 3 persen dan pembiayaan jual beli prinsip syariah masih diangka 2 persen.
Sementara, untuk piutang berdasarkan sektor ekonomi paling dominan berada pada sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi perawatan kendaraan mencapai 33 persen; serta rumah tangga 14 persen; transportasi dan pergudangan 10 persen;
“Kemudian ada pula pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan 8 persen; jasa persewaan dan sewa guna usaha 6 persen; serta perawatan jasa lainnya 5 persen,” tandasnya. (Ega/yud)