ENTAH benar entah tidak. Ada anekdot. Katanya, orang yang sakit kanker bukan meninggal karena sakitnya.
Tapi karena ketakutannya ketika divonis bahwa usianya sudah tidak akan lagi lama. Ini membuat hari-hari mereka hidup dalam ketakutan dan kemurungan.
Ada juga lelucon, orang terkena Covid-19 justru lebih banyak yang meninggal saat mereka dimasukkan ke rumah sakit.
Sedangkan mereka yang isolasi mandiri di rumahnya, lebih banyak sembuh.
Penyebabnya, kata orang-orang yang percaya itu, di rumah sakit mereka menjalani hidup dalam kesedihan dan ketertekanan.
Sementara yang isolasi mandiri di rumah, lebih bahagia karena, sekalipun terbatas, masih bisa berjumpa dengan keluarga.
Makanya, Joshua sangat percaya kepada Alkitab. Yang, dalam Amsal 17:22, menyatakan, "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, semangat yang patah mengeringkan tulang."
Persis yang dituliskan Kong Rong 孔融, sastrawan era dinasti Han, dalam suratnya untuk Cao Cao 曹操, "忧能伤人" (yōu néng shāng rén): kesedihan bisa membahayakan orang.
Dari situ, Joshua yakin, obat yang paling manjur sebenarnya ada di dalam diri manusia sendiri. Tepatnya: di dalam hati. Lebih konkretnya lagi: di hati yang gembira.
Kenapa?
Joshua menerangkan, hati yang gembira akan melepaskan hormon dopamin. Yang fungsinya meningkatkan kekebalan tubuh, meredakan peradangan, dan melebarkan pembuluh darah.
Dari sana, tekanan darah akan terjaga. Tidak melonjak. Pengeluaran urin pun jadi meningkat. Kadar gula darah juga terkendali. Karena produksi hormon insulin ditekan.
Joshua adalah pendeta. Ditahbiskan jadi misionaris di gereja pusat Taiwan pada 2005.
Tiga tahun kemudian, 2008, ia memulai Gereja Allah Baik (GAB) Harvest di Surabaya –sampai sekarang.
Ia memang lama tinggal di Taiwan. Dari 1976 sampai 2005. Untuk kuliah dan bekerja. Kampusnya: National Cheng Kung University. Jurusannya: Industrial Management. (*)