“Pemahaman keagamaan disebut berlebihan dan ekstrim jika mengingkari kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama. Jangan sampai ajaran agama justru tidak memanusiakan manusia. Karena jika mengingkari nilai kemanusiaan, justru kita mengingkari agama,” terangnya.
Kemudian, lanjutnya, tantangan yang kedua, munculnya klaim kebenaran atas tafsir agama. Menurutnya, ada sebagian orang yang merasa paling paham, tafsir keagamaannya saja yang paling benar.
Lalu, memaksa orang lain yang berbeda untuk mengikuti pahamnya, bahkan dengan cara paksaan dan kekerasan.
“Ini yang dimaksud melampui batas, dan berlebihan dalam beragama. Jadi klaim kebenaran sepihak dan memaksakan kehendak,” ujarnya.
BACA JUGA:Hadiri Launching Pekon Sadar Kerukunan, Ini Pesan Bupati Tanggamus
Terakhir, lanjutnya, pemahaman yang justru merongrong, atau mengancam bahkan merusak ikatan kebangsaan.
Ia mencontohkan, pemahaman orang yang atas nama agama lalu menyalahkan pancasila, mengharamkan hormat bendera, mengkafirkan orang yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, bahkan mengajarkan bahwa nasionalisme tidak penting karena tidak diajarkan agama.
“Ini adalah cara pandang, sikap, praktik beragama yang berlebihan dan melampui batas dalam konteks keIndonesiaan. Cara pandang inilah yang harus dimoderasi. Jadi yang dimoderasi diposisikan untuk berada di tengah, tidak ekstrim kanan atau kiri,” katanya.
Ia juga berpesan kepada mahasiswa untuk menjaga lingkungan kampus. Agar tidak terprovokasi atau terpapar pemahaman baru.
BACA JUGA:Gubernur Arinal Tekankan Pengendalian Inflasi di Provinsi Lampung dengan Strategi 4K
“Peran mahasiswa itu menjaga lingkungan kampus agar paham-paham radikalisme tidak masuk ke lingkungan kampus,” pungkasnya. (*)