DALAM sistem rekrutmen mahasiswa baru Kampus negeri atau Perguruan Tinggi Negeri (PTN), ada tiga jalur utama seleksi. Berdasar Permenristekdikti No. 90 tahun 2017, yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan seleksi Mandiri (SM).
Ketiga jalur memiliki kuota masing-masing, SNMPTN minimal 20 persen, SBMPTN minimal 40 persen, dan seleksi Mandiri maksimal 30 persen.
SNMPTN diseleksi berdasarkan nilai akademik saja atau nilai akademik dan prestasi lainnya yang ditetapkan oleh PTN.
Sementara itu, seleksi SBMPTN berdasarkan hasil UTBK (Ujian Tertulis Berbasis Komputer) dan kriteria lain yang ditetapkan bersama oleh PTN.
Sedangkan seleksi Mandiri dapat menggunakan nilai UTBK atau kriteria lain yang diselenggarakan secara mandiri oleh PTN yang bersangkutan.
Pertanyaannya, kenapa penerimaan mahasiswa baru PTN dirancang berkali-kali, tidakkah cukup satu kali saja?
PTN dan Kualitas Bangsa
Mengamati keberadaan kampus negeri, bukankah PTN yang didirikan di berbagai daerah dirancang untuk mendorong perubahan kualitas SDM bangsa Indonesia, menciptakan mutu SDM yang lebih baik, cerdas dan bermartabat, sesuai amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Jika dasar pikirannya demikian, tentu pendekatan yang layak dilakukan adalah dari sisi kualitas atau mutu, bukan kuantitas atau jumlah. Namun dengan dikeluarkannya beleid seleksi nasional mahasiswa hingga tiga kali, menunjukkan kecenderungan misi PTN tidak semata-mata hanya kualitas, tetapi juga kuantitas.
Padahal PTN dibiayai oleh negara, sarana prasarana, sumber daya manusia hingga anggaran operasional bersumber dari APBN, ada pun pemasukan anggaran dari mahasiswa berupa UKT, Uang Pangkal, dll, sesungguhnya bukan merupakan hal pokok, hanya sebagai penunjang.
Tetapi mengapa proses seleksi mahasiswa harus berkali-kali? Jika kampus negeri memerlukan kuota mahasiswa, lakukanlah, penuhi kuota tersebut berapa pun jumlah mahasiswa yang diperlukan, tetapi cukup dg SNMPTN dan SBMPTN yang termonitor oleh Dikti, bukan diberi kebebasan untuk Seleksi Mandiri yang, dalam tanda petik, pengawasannya sangat lemah, senat perguruan tinggi saja sulit mengawasi apalagi mahasiswa dan orang luar.
PTN BLU, BH dan Satker
Fakta lain yang dapat menjadi alasan kampus negeri saat ini lebih berorientasi pada upaya akumulasi mengejar kuantitas (jumlah) mahasiswa, pemerintah mengklasifikasi tiga jenis cluster PTN di Indonesia, yaitu PTN BH (Berbadan Hukum), PTN BLU (Badan Layanan Umum) dan PTN Satker (Satuan Kerja) sebagai upaya menciptakan otonomi dan kemandirian kampus.
Dua klasifikasi pertama adalah PTN yang diberi kewenangan memberlakukan tarif dan mengelola anggaran sendiri, tarif kuliah berupa UKT dan Uang Pangkal terutama melalui jalur seleksi mandiri, hal ini tidak berlaku untuk klasifikasi PTN Satker.
Menurut aturan klasifikasi tersebut, uang masuk dari penarikan tarif biaya kuliah dapat dikelola sendiri tanpa harus setor ke kas negara. Seolah-olah pemerintah dalam hal ini kementerian keuangan tidak ikut campur tangan, akibatnya tentu ada sisi negatif karena lemahnya kontrol.