Sekalipun Makmun Rasyid adalah seorang tentara yang identik dengan perang, namun di balik itu, dia adalah pribadi yang lembut dan romantis.
"Sepulang ayah dari Maluku menumpas RMS yang dipimpin Dr. Soumokil tahun 1959, ayah membawakan burung Kakatua yang bisa berbicara untuk nenek saya. Burung itu diberi nama Yakob. Bukan main senangnya nenek karena rumah jadi ramai oleh suara burung itu", ujar Rosmahayati sambil tertawa mengenang hal itu. Rosmahayati adalah anak sulung Kolonel Makmun Rasyid.
Disela-sela kesibukannya sebagai tentara, saat libur, Makmun Rasyid mengisi acara dengan main tenis atau mengajak keluarganya rekreasi. Praktis, di mata keluarga, dia adalah pribadi yang hangat dan penyayang.
Pernah seisi rumah heboh ketika Kolonel Makmun Rasyid pulang membawa Siamang (Syimphalangus Syndactylus) dengan kondisi terluka parah.
Hewan itu ditemukannya ketika pulang dari olah raga pagi. Mungkin tertabrak mobil. Hewan itu diobati hingga sembuh. Lalu diberi nama Molly. Sungguh, humanisme yang nyata dari sosok sang Kolonel.
"Tahun 1978 saya tes AKABRI, tapi gagal. Ayah hanya tersenyum saja. Padahal jika mau, bisa saja ayah membantu agar lulus. Mengingat waktu itu beliau bertugas di Kodam II Sriwijaya. Saya kagum sekali atas integritasnya", ujar Iskandar Zulkarnain, anak ketiga Makmun Rasyid ketika diwawancarai di restoran Palapa miliknya yang terletak di Kalianda awal Juli 2022 lalu.
Di Tengah Palagan: Merdeka atau Mati
Tercatat banyak sekali Palagan atau perang hebat melawan Belanda di Lampung Selatan. Para pejuang TNI maupun laskar rakyat dengan jumlah terbatas dan persenjataan yang minim seperti senapan locok/rakitan, beberapa pucuk senjata achterlaad dan bambu runcing bersatu menyabung nyawa di medan laga.
Sebut saja misalnya pertempuran hari Kamis tanggal 6 Januari 1949 di Kampung Sukatinggi (Km 27) Ketibung. Dua warga sipil tak berdosa dibunuh secara kejam dan 14 rumah warga di Babatan dibakar Belanda.
Ada lagi pertempuran Babatan pada 8 Maret 1949. Secara mendadak Belanda menyerang asrama laskar. Dua orang laskar yaitu Nasrun dan Ishak gugur memenuhi janjinya pada ibu pertiwi. Selain itu,12 senjata locok/rakitan, 1 senjata achterlaad dan 1 granat dirampas Belanda.
Di pagi buta pada tanggal yang sama, pukul 06.00 WIB di Kampung Pardasuka juga terjadi perang, dua orang laskar ditawan Belanda.
Pertempuran paling heroik terjadi pada 21 Maret 1949 di Kampung Karang Agung sebelah Selatan jembatan Way Urang atau sekitar 700 m dari pasar Kalianda sekarang.
Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran 5 Jam. Tembak-menembak dimulai pukul 03.30 sampai pukul 05.00 WIB. Sempat mereda tapi pada pukul 06.00 WIB pertempuran berlanjut hingga 08.30 WIB.
"Mencegah terjadinya korban di pihak sipil mengingat lokasi perang terjadi di tengah kota Kalianda, maka saya perintahkan pasukan mundur keluar kota", ujar Kolonel Makmun Rasyid berkisah pada Iskandar Zulkarnain.
12 orang pejuang gugur yaitu yaitu Serma CPM. Ibnu Hasyim dan Kopral M. Toyib. Selebihnya adalah anggota laskar yang oleh Letkol Bambang Utoyo, Komandan Brigade Sumatera Selatan tanggal 17 September 1957 diberi pangkat Prajurit Satu Anumerta. Yaitu Derani, M. Yusuf, Umar, Abidin, Lekok, M. Amin, Haris, Isya, Husin dan Sulaiman seluruh jenazahnya dipindahkan ke TMP Kesuma Bangsa Kalianda pada 10 November 1963.
Sementara pejuang yang luka parah adalah Juwaher dan Sappot.