"Dalam pertempuran itu kami kehilangan 9 orang prajurit dan 11 luka-luka", ujar Letnan Satu Blakenburg seorang perwira Belanda ketika bertemu Makmun Rasyid dalam perundingan tanggal 11 September 1949 di Markas Pejuang di Kampung Pematang.
Untuk menghormati jasa para pejuang yang ikut dalam pertempuran itu, maka oleh pemerintah diberi nama Jalan Kesuma Bangsa di lokasi pertempuran terjadi. Lokasi jalan itu persisnya antara Jembatan Way Urang sampai ke Pasar Kalianda.
Sementara antara jembatan Way Urang sampai Kantor Bupati Lampung Selatan dinamakan Jalan Kolonel Makmun Rasyid.
Pertempuran lainnya yaitu pada 9 Agustus 1949. Sejak pukul 09.45 WIB sampai 10.15 WIB pertempuran terjadi di utara kota Kalianda tepatnya sekitar Way Kiyai Kampung Karet.
Pukul 12.30 WIB pasukan Makmun Rasyid mundur ke Kampung Pematang untuk melanjutkan perang dengan taktik gerilya.
Esoknya pada 10 Agustus 1949 pukul 08.00 WIB pagi, tanpa diduga Belanda menyerang pertahanan pejuang di Kampung Pematang.
Dalam pertempuran ini, dua orang warga Kampung Pematang yaitu Djaya bin H. Djafar dan Djaya bin Harun dibunuh secara keji karena dituduh sebagai laskar pejuang.
"Tak ingin lebih banyak jatuh korban sipil, maka pasukan pejuang menjauh dari Kampung Pematang ke arah selatan. Selama mundur, pasukan Belanda terus menghujani pejuang dengan tembakan senjata otomatis", ujar Sersan Mayor Harun yang merupakan adik ipar Kolonel Makmun Rasyid yang ikut dalam pertempuran itu.
Peristiwa di Rayon Tanjungan
Sebagai akibat perjanjian 11 September 1949 di Kampung Pematang antara TNI dengan Belanda yang dihadiri antara lain oleh Kapten Souhoka, Letnan Muda Makmun Rasyid dan Letnan Satu Blakenburg, maka seluruh pasukan TNI dan laskar di Kampung Pematang, Dantaran, Pardasuka dan Canti Lampung Selatan paling lambat sampai 15 September 1949 wajib pindah ke daerah Tanjungan (sekarang bagian dari Kecamatan Ketibung)
Sebenarnya hal itu sangat merugikan posisi pejuang sebab selain wilayah Rayon Tanjungan sempit (hanya sekitar 2 km persegi) itu artinya para pejuang dijauhkan dari wilayah Kalianda dan rakyatnya.
Akibatnya 74 prajurit TNI, 195 laskar dan staf pemerintah sipil RI harus berdiam di Rayon Tanjungan sebagai pusat pemerintahan darurat sampai tanggal 18 Desember 1949.
Hari itu tanggal 12 Oktober 1949, sekira pukul 23.00 WIB ditengah derasnya hujan tiba-tiba 10 orang datang ke Markas Rayon Tanjungan mereka mengaku laskar yang ingin bergabung. Suasana agak gelap karena minimnya penerangan.
Setelah mengutarakan maksudnya, tiba-tiba 10 orang itu serentak mencabut golok dan senjata dipinggangnya menyerang pasukan pejuang secara membabi- buta. Tak ketinggalan Kolonel Makmun Rasyid juga menjadi target.
Ternyata mereka pembunuh bayaran yang bertujuan menyerang markas Rayon Tanjungan.
Beruntung 6 orang penyusup berhasil ditembak mati, sisanya melarikan diri ditengah kegelapan malam.