Lalu ada yang disebut ehipassiko yaitu datang, lihat dan buktikan sendiri kebenarannya.
Dalam hal ini bukan datang dan percaya saja ‘Apa Katanya’ lalu memilih imam yang dirasa cocok doktrinnya.
Tapi ini berkaitan dengan salah satu ajaran penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran agama lainnya.
BACA JUGA: Diklaim Bukan Benda Purbakala, Ternyata Ini Fakta Mahkota Raja yang Ditemukan di Blitar
Buddha bukanlah sebuah ajaran untuk berpikir bebas. Jadi apakah berpikir bebas itu sebuah agama? Ya tentu saja bukan.
Agama justru berbanding terbalik dari hasil berpikir lalu berorganisasi. Maka jadilah sebuah agama.
Sehingga jelas Buddhisme adalah sebuah filsafat untuk berpikir bebas.
Jika kita melihat dari kasus lukisan tadi, seharusnya kita lihat sudut pandang tentang bagaimana falsafah budaya tertanam dalam sosok Ultraman.
BACA JUGA: Begini Cara Mengusir Setan Dalam Agama yang Ada di Indonesia
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa karakter Ultraman sebenarnya merupakan hasil kerjasama identitas masyarakat Jepang.
Karakter ini mencerminkan budaya mereka, yang menjadi fenomena fiksi Ultramen dan dimulai pada tahun 1966.
Tidak seperti Superman yang bergerak solo dan memiliki posisi unik sebagai satu-satunya yang selamat dalam ledakan planet.
Pencipta Ultramen nampaknya ingin menjadikan Ultraman sebuah keluarga.
BACA JUGA: Kilas Balik Sejarah Peradaban Suku Lampung
Eksistensinya adalah untuk menunjukkan kepada komunitas Jepang tentang pentingnya hidup bersama.
Selama lebih dari lima puluh tahun, karakter ini konsisten menggunakan warna merah dan perak sebagai warna dasar.