Dalam waktu singkat, kecanggihan teknologi mewujudkan perintah tersebut sesuai dengan keinginan yang bersangkutan.
Imbasnya, batasan perusahaan media mainstream (arus utama) dengan media menengah bahkan non-media semakin samar. Media mainstream juga berlomba memanfaatkan beragam jenis platform agar tidak tergerus zaman.
Perlahan namun pasti, media mainstream mulai bertransformasi menjadi media digital atau online. Ribuan bahkan jutaan website berita lahir. Belum lagi akun-akun medsos yang mengatasnamakan diri media.
BACA JUGA:Samsung Beber Kelebihan Exynos 2400 di Galaxy S24 dan S24 Plus, Apa Saja?
Sebagian dikelola oleh badan usaha. Sebagian lain diampu oleh pribadi yang belakangan lebih dikenal dengan sebutan influencer atau content creator.
Maka kini masyarakat sangat sulit membedakan informasi valid dengan hoaks. Sebuah informasi dapat dengan cepat beredar dan berubah menjadi viral atau trending topic tanpa proses verifikasi.
Tidak ada lagi proses penyaringan, cek dan ricek serta balancing oleh editor atau redaktur sebelum sampai ke tangan pembaca. Publik dengan entengnya mengabaikan beragam proses yang harus dilalui produk jurnalistik tersebut.
BACA JUGA:Empat Tersangka Penyalahgunaan Narkoba di Tanggamus Lampung Ditangkap, Ini Barang Buktinya
Saya contohkan, seseorang yang kebetulan menyaksikan sebuah perkelahian dengan mudah menyebarkan kejadian tersebut melalui medsosnya. Ia tidak peduli motif perkelahian tersebut. Ia juga acuh jika video tersebut nantinya bisa memicu konflik horizontal yang mungkin bisa memakan korban.
Mirisnya, media seperti Radar Lampung tidak bisa berbuat banyak. Apalagi kini juga terjadi perubahan generasi. Kini masanya generasi milenial. Nahasnya, mereka tidak terbiasa membaca koran.
Sementara, generasi baby boomers, X dan Y seolah menolak tua. Mereka tak malu mengikuti aksi generasi milenial memposting foto di Instagram atau mengirim video ke TikTok demi “like” dan “follow” dari para netizen. Perlahan mereka juga melupakan kebiasaan membaca koran.
BACA JUGA:Akhirnya, Pondasi Pembangunan Gedung BPKHTL Yang Timpa Rumah Warga Dibongkar
Hantaman arus teknologi dan perubahan generasi ini belum seberapa. Perubahan lifestyle ini ternyata juga dibaca kalangan pengusaha. Akibatnya, iklan di media cetak semakin minim. Kalangan swasta sekarang lebih gandrung beriklan di platform medsos atau meng-endorse para influencer.
Apa daya, minimnya iklan otomatis membuat pendapatan turun. Sementara biaya operasional malah naik drastis. Harga kertas kini melambung tinggi mengikuti fluktuasi dolar.
Guna menyiasatinya, perusahaan media terpaksa melakukan efisiensi. Ada yang menaikkan harga koran. Ada pula yang mengurangi jumlah atau ukuran media cetak.
Para pelaku industri media bak dihadapkan dengan buah Simalakama. Tetap terbit dengan segala konsekuensinya atau tidak lagi terbit. Artinya sama dengan memicu PHK dan mengubur idealisme yang selama ini susah payah dibangun.