“Dulu, waktu Unila dipimpin Prof. Sugeng, kebijakan kampus memberi ruang yang lebih luas untuk siswa lokal. Tapi sekarang, sejak dipimpin Prof. Lusi, kuota itu makin kecil,” sesalnya.
BACA JUGA:Solusi Cerdas Ibu Rumah Tangga, Beli Token Listrik Praktis dengan BRImo
Bang Aca bahkan pernah bertanya langsung ke Prof. Lusi soal rendahnya penerimaan siswa lokal.
Jawabannya: semua lewat sistem nasional. Pendaftaran dibuka untuk seluruh Indonesia. Yang skornya paling tinggi, itu yang diterima. Tidak peduli asalnya dari mana.
Ia tidak membantah sistem itu. Tapi ada satu hal yang membuatnya heran.
“Anak-anak kita yang gagal di jalur nasional, ternyata banyak yang diterima lewat jalur mandiri,” kata Bang Aca.
BACA JUGA:3 Build Nana Paling Sakti di Mobile Legends
BACA JUGA:Mudahkan Transaksi Nasabah Dengan Brimo, Kapanpun dan Dimanapun
Ini yang jadi ganjil: tidak lolos karena skornya rendah, tapi bisa diterima asalkan mampu membayar.
“Kalau memang tidak kompeten, seharusnya tidak diterima juga. Dari jalur manapun,” tegasnya.
Jalur mandiri ini memang punya cerita lain. Tak hanya soal seleksi internal, tapi juga soal uang pangkal.
Jumlahnya tak kecil. Ada yang Rp15 juta. Ada yang Rp20 juta. Bahkan sampai Rp25 juta.
BACA JUGA:Pesan Mobil Online, Wanita Ini Menjadi Korban Penganiayan dan Perampokan
BACA JUGA:Menkop Budi Arie: Koperasi Merah Putih Jadi Motor Ekonomi Nasional dari Desa
Menurut Bang Aca, ini seolah bukan lagi soal siapa yang pintar. Tapi siapa yang sanggup membayar mahal untuk masuk kampus negeri.