Siapa yang Sebenarnya Bicara di Internet Hari Ini?
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Lampung Tengah Alfa Dera.--
Penulis:
Alfa Dera
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Lampung Tengah
SEBELUM tidur, hampir semua dari kita melakukan satu kebiasaan yang sama: membuka ponsel, lalu menggulir layar media sosial. Hanya beberapa menit, katanya. Tapi tanpa sadar, waktu berlalu. Konten demi Konten lewat begitu saja. Awalnya terlihat normal—video, komentar, candaan—namun semakin lama, semuanya terasa berulang, kosong, dan bising.
Pernahkah kita bertanya: mengapa konten yang muncul terasa semakin seragam, semakin dangkal, namun justru semakin membuat candu?
Di sinilah muncul sebuah gagasan yang dikenal sebagai Dead Internet Theory—sebuah teori yang ramai dibahas sejak sekitar 2021. Intinya sederhana namun mengganggu: internet yang kita kenal hari ini perlahan “mati”. Bukan mati secara fisik, melainkan mati sebagai ruang interaksi manusia yang autentik. Aktivitas di dalamnya semakin banyak dikendalikan oleh algoritma, bot, dan kecerdasan buatan, bukan lagi oleh manusia.
Gejala ini sesungguhnya telah lama disindir. Pada tahun 1970, Monty Python’s Flying Circus menampilkan sketsa berjudul Spam. Di sebuah kafe, semua menu berisi spam. Ketika pelanggan menolak, suara “spam, spam, spam” justru dinyanyikan semakin keras hingga menenggelamkan percakapan rasional.
Sketsa tersebut kini terasa seperti nubuat. Istilah spam kemudian digunakan di forum internet awal seperti Usenet untuk menggambarkan pesan berulang yang menenggelamkan makna. Hari ini, spam telah menjelma menjadi banjir konten kosong, di mana suara kebenaran kerap tenggelam oleh keramaian buatan.
Media sosial awalnya dirancang untuk membantu manusia menemukan informasi. Namun seiring waktu, logika ekonomi platform bekerja sederhana: semakin lama pengguna menatap layar, semakin besar keuntungan.
Algoritma pun berubah arah. Bukan lagi menyaring yang paling bernilai, tetapi yang paling mampu menahan perhatian. Konten tak perlu bermutu, cukup memancing emosi. Inilah yang melahirkan fenomena doom scrolling—menggulung layar tanpa tujuan, tanpa henti.
Laporan keamanan siber menunjukkan fakta mencemaskan: lebih dari separuh lalu lintas internet global dilakukan oleh bot. Sebagian memang bot baik, namun sebagian besar adalah bot manipulatif—meniru manusia, berkomentar, menyukai, bahkan memprovokasi.
Artinya, bisa jadi kita merasa berdiskusi ramai, padahal yang berbicara bukan lagi manusia.
Masalah terbesar bukan sekadar kecanduan, melainkan kontrol narasi. Algoritma belajar dari perilaku kita, lalu membentuk arus informasi. Di titik ini, kebenaran menjadi rapuh. Yang viral bukan yang benar, tetapi yang paling efektif secara algoritmik.
Fenomena ini sejatinya telah diperingatkan dalam Islam. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya…”
(QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini menjadi sangat relevan di era digital, ketika informasi datang tanpa wajah dan tanpa identitas yang jelas. Tabayyun bukan sekadar ajaran moral, tetapi kebutuhan sosial.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
