Aom-Slamet
--
Sejak itu, saya beberapa kali bertemu dengan Slamet. Pertemuan terakhir saya sekitar empat bulan lalu.
Saat itu selepas Isya sekitar pukul 8 malam. Saya melihatnya sedang memikul kerupuk dagangan di Jalan Untung Suropati.
Saya pun berhenti. “Kok, jam segini belum pulang Met. Ayo saya antar ke rumah,” saya menawarkan jasa. Kasihan, jam segini dia masih menyusuri jalan raya.
Slamet menolak tawaran saya.
“Nggak usah pak. Terima kasih".
Saya tahu perjalanan Slamet ini masih jauh dari rumahnya di perumahan Kota Sepang.
“Ya sudah Met kalau begitu,” ujar saya meninggalkan dia sambil memasukkan uang Rp 100 ribu ke saku bajunya.
Sungguh saat itu saya lupa menanyakan kabar anaknya. Apakah masih kuliah atau tidak.
Sejak itu saya tak lagi dengar kabar Slamet. Dan baru ingat dia setelah Aom ditangkap KPK.
Sabtu hingga Minggu malam setelah Aom ditangkap saya terus teringat Slamet.
Bagaimana nasibnya kini. Bagaimana kuliah anaknya? Ada perasaan bersalah. Kenapa saat itu saya tak membantunya membayar uang SPI itu.
Keinginan bertemu Slamet memuncak ketika saya salat Isya, Minggu malam. Saya menangis bukan karena memahami bacaan imam. Namun, saya ingat Slamet.
Saya pun memutuskan, besok saya harus temui dia. Saya ingin tahu keadaannya. Keadaan anaknya.
Senin sekitar pukul 10 pagi, saya ke rumah kontrakannya di perumahan Kota Sepang.
Dia baru tinggal di sana enam bulan lalu. Dari pertemuan inilah saya baru tahu kehidupan Slamet yang sebenarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: