Profesor Karomoney

Profesor Karomoney

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway---

RADARLAMPUNG.CO.ID - Seorang guru besar mengaku malu menyandang gelar profesor di Indonesia. Prof Sutawi, guru besar Universitas Muhammadiyah Malang, menulis artikel yang menjadi viral mengenai borok di sistem perguruan tinggi di Indonesia yang membuatnya malu menyandang gelar tertinggi di kampus.

Guru besar adalah jabatan akademis tertinggi seorang dosen di perguruan tinggi. Bagi seorang dosen, menjadi profesor adalah gabungan antara ambisi, prestasi, gengsi, sensasi, dan ekonomi. Karena itu, banyak yang berburu gelar –dengan berbagai cara– untuk mendapatkan posisi itu.

Ujung-ujungnya, terjadi berbagai pengkhianatan intelektual dalam berbagai bentuk. Salah satu yang terbaru adalah penangkapan Prof Karomani, rektor Universitas Lampung, oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT). Uang miliaran rupiah disita bersamaan dengan penangkapan itu.

Peristiwa tersebut makin membuat malu dan menjadi aib yang mencoreng dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Seorang profesor seharusnya menjadi role model dalam dunia pendidikan tinggi dan dunia kecendekiawanan pada umumnya. Namun, ternyata profesi itu tidak kebal terhadap korupsi, malah –dengan jabatan rektor– seorang profesor menjadi rentan terhadap korupsi.

BACA JUGA:Simak! Ini Cara Menghindari Konten Sensitif di Instagram, Ibu-ibu Harus Paham

Gelar profesor akhirnya hanya menjadi pajangan sebagai sarana panjat sosial sekaligus sarana untuk panjat ekonomi alias mengumpulkan uang. Peter Fleming menulis buku Dark Academia: How Universities Die (2022), menengarai menjamurnya para akademisi hitam yang menjadi tanda kematian kampus sebagai pusat intelektualitas.

Fleming mengungkap sejumlah fenomena yang menunjukkan bahwa tradisi intelektual kampus sudah mati dan kampus hanya menjadi puing yang bahkan menara gadingnya pun sudah ambruk. Fleming menganggap kampus sudah mati dilindas oleh gelombang neoliberalisme yang menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai mesin penghasil uang daripada penghasil cendekiawan.

Fenomena komersialisasi melanda Amerika, Eropa, dan Australasia. Di Indonesia kampus sudah menjadi lembaga komersial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. 

Kampus menjadi mesin pencari uang yang dikelola oleh pejabat yang punya keterampilan bisnis dan keuangan. Para ilmuwan dan intelektual –yang seharusnya menjadi ujung tombak kampus– berubah menjadi pegawai yang harus patuh kepada manajer komersial.

BACA JUGA:Bejat! Tak Hanya 2 Anak Kandung, Buruh Ini juga Cabuli Keponakannya

Undang-Undang Omnibus Law 2020 makin membuat kondisi kampus mengenaskan. Kampus menjadi objek investasi yang harus bisa menghasilkan profit dengan upayanya sendiri. 

Orientasi ekonomi bisnis yang terlalu kuat mengalahkan orientasi intelektualitas yang idealistis. Berbagai program komersial dan investasi dibuka untuk mengeruk profit. Bukan hanya modal yang didatangkan dari luar, rektor pun bisa saja diimpor dari luar.

Kaum intelektual kampus diperlakukan sama saja dengan karyawan perusahaan pabrik panci. Para doktor dan guru besar harus mengisi daftar presensi setiap hari. Ada insentif tambahan untuk kehadiran dan ada denda berupa pemotongan bagi yang mangkir.

Para pekerja kampus setiap saat sibuk dengan keharusan memenuhi target beban kerja. Meleset dari target beban kerja berarti tunjangan melayang. Atau, lebih buruk lagi, jabatan akan ikut melayang. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway