Antara Angka, Keadilan Fiskal, dan TKD yang Terpangkas
Ari Suryanto.-Foto Dok. Pribadi-
Oleh: Ari Suryanto
(Pemimpin Redaksi Radarlampung.co.id)
SEORANG ayah duduk melamun di beranda. Sendirian. Matanya menatap kosong ke arah atap bocor yang belum juga diperbaiki.
Kepalanya penuh dengan hitungan pengeluaran dan daftar belanja. Harga beras. Biaya sekolah. Pun tanggungan listrik bulan ini.
Lima menit sebelumnya, kabar buruk menghampirinya: kiriman dari saudaranya di kota, yang kerap ia andalkan, bakal berkurang. Seperempatnya.
Ia menghela napas.
Di dapur, lima anak menunggu makan malam. Dua keponakan ikut duduk.
Keponakan yang baru saja jadi tanggungannya, setelah orang tua mereka lepas tangan, pergi entah ke mana.
Mereka tertawa kecil. Tak tahu sang ayah sedang menimbang: beras, biaya sekolah, atau listrik.
Mungkin begitulah perasaan seorang gubernur mendengar kabar pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) tahun depan.
Ibarat penghasilan sang ayah yang kian pas-pasan untuk anak-anaknya, seperti itulah pendapatan daerah yang bakal makin termakan oleh belanja pegawai.
Sementara keponakan yang ikut ditanggung, ibarat PPPK yang gajinya menjadi tanggungan baru pemda.
Dan, rumah yang mulai reot adalah cerminan daerah yang masih butuh diperbaiki, sedikit demi sedikit.
Ya, sejumlah gubernur saat ini sedang membayangkan pendapatan yang bakal kian menyusut. Sedangkan kewajiban bertambah.
“Dana Alokasi Umum kita dipangkas Rp580 miliar,” sebut Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, belum lama ini.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
