Oleh Nizwar Affandi* *Ketua DPD Ormas MKGR Provinsi Lampung RADARLAMPUNG.CO.ID-Kemarin Presiden Jokowi membuka Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 di Lampung, muktamar NU yang kelima di luar Jawa dan ketiga di Sumatera. (Banjarmasin di tahun 1936, Palembang di tahun 1952, Medan di tahun 1956 dan Makassar di tahun 2010). Hampir tiga puluh tahun sebelumnya, tanggal 21-25 Januari tahun 1992 Lampung juga pernah menjadi tuan rumah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU. Walaupun bukan muktamar, munas dan konbes di Lampung tiga dasawarsa yang lalu itu tercatat sebagai salah satu milestone dalam sejarah Nahdlatul Ulama. Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU pemilihan Rais Aam Syuriah dan Wakil Rais Aam “terpaksa” dilakukan dalam forum munas bukan dalam forum muktamar karena KH. Ali Yafie Wakil Rais Aam yang menjadi Pejabat Rais Aam (menggantikan KH. Achmad Shiddiq yang wafat satu tahun sebelumnya) secara mengejutkan menyatakan mundur dari jabatannya. Intensitas dinamika internal di tubuh NU yang pernah terjadi 37 tahun yang lalu menjelang Muktamar Situbondo tahun 1984 dan ketika Munas Lampung 1992 sempat seperti akan terulang kembali pada Muktamar Lampung 2021 ini. Tetapi sebagaimana layaknya organisasi besar yang telah berumur seabad, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari dinamika internal itu, NU telah teruji memiliki mekanisme resolusi konflik yang relatif mapan dan elegan. Karena meyakini hal itu maka tulisan ringkas ini tidak akan bersusah payah ikut-ikutan latah menganalisa dan mengotak-atik kalkulasi potensi dan peluang dalam kontestasi Ketua Umum Tanfidziyah maupun Rais Aam Syuriah PBNU ke depan. Sebagai bagian dari masyarakat awam, penulis hanya ingin menyampaikan harapan agar secara substantif capaian keputusan dalam Muktamar di Lampung tahun 2021 dapat melampaui catatan sejarah yang pernah dilahirkan dalam Munas dan Konbes di Lampung tahun 1992. Pada Munas dan Konbes tahun 1992 di Gedung Serba Guna (GSG) Universitas Lampung (Unila), prinsip-prinsip pengembangan sosial dan ekonomi NU yang sejak Muktamar di Banten tahun 1938 tertuang dalam mabadi khaira ummah ats-tsalatsah (ash-shidqu/ tidak berdusta, al-wafa bil ‘ahd/ menepati janji dan at-ta’awun/ tolong-menolong) dikembangkan lagi menjadi mabadi khaira ummah al-khamsah (ditambah dengan prinsip ‘adalah/ keadilan dan istiqamah/ keteguhan). Munas dan Konbes NU di Bandar Lampung menjadi tempat kelahiran kedua mabadi khaira ummah NU setelah 54 tahun kelahiran pertamanya pada Muktamar NU di Menes, Banten. Munas dan Konbes tahun 1992 juga melahirkan keputusan-keputusan fundamental terkait pandangan NU terhadap masalah perbankan dan asuransi, keputusan yang dikemudian hari menjadi rujukan dasar yang digunakan pemerintah baik dalam penyusunan perundang-undangan maupun penetapan regulasi praktek perbankan dan asuransi syariah di Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa pada Munas dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung, lahir sebuah keputusan yang sangat revolusioner terkait “sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama”. Sejak didirikan pada tahun 1926, selama 66 tahun pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail (pembahasan masalah-masalah) di lingkungan NU hanya mengenal satu prosedur saja, yaitu merujuk pada qaul (pendapat, pandangan, perkataan) dari Asy-Syaikhani (Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i) yang tertuang secara tekstual dalam kitab-kitab. Munas dan Konbes NU di Lampung tahun 1992 menetapkan dua prosedur baru, yaitu ilhaq al-masail bi nazha’iriha secara jama’i (menggunakan qiyas/qodliyah/silogisme dengan keputusan yang sudah ada) dan istinbath secara jama’i (menggunakan metodologi Imam Syafi’i). Dengan dua prosedur baru itu, NU menjadi lebih responsif dan up to date dalam memberikan keputusan hukum terkait masalah-masalah kemasyarakatan kontemporer. Untuk pertama kalinya juga pada Munas dan Konbes NU di Lampung dikenalkan istilah “kerangka analisis masalah”, ditetapkan bahwa bahtsul masail harus melakukan analisa komprehensip dari berbagai perspektif (ekonomi, budaya, politik, sosial, hukum) terhadap setiap masalah yang dibahas. Bahtsul masail juga harus mempertimbangkan dan melakukan simulasi terkait dampak dan konsekuensi dari setiap keputusan yang akan ditetapkan menjadi fatwa. Tidak dapat dibantah, Munas dan Konbes NU di Lampung tiga dasawarsa yang lalu telah melahirkan begitu banyak keputusan luar biasa dan fundamental. Ketua Tanfidziyah PBNU KH. Abdurrahman Wahid dan Katib Aam Syuriah PBNU KH. Ma’ruf Amin ditengarai menjadi bidan yang membantu proses kelahiran keputusan-keputusan penting itu. Bisa jadi karena besarnya manfaat yang diperoleh umat atas lahirnya keputusan-keputusan itu, Allah memberikan kemuliaan kepada mereka berdua sehingga dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia walaupun tidak dalam masa jabatan yang bersamaan. Apakah capaian luar biasa dalam Munas dan Konbes NU tahun 1992 itu bisa diteladani dan diikuti juga oleh Ketua Tanfidziyah KH. Said Aqil Siradj dan Katib Aam PBNU KH. Yahya Cholil Staquf dalam Muktamar ke-34 di Lampung? Wallahu’alam bishowab. Jawabannya akan sama-sama kita saksikan dalam dua hari ke depan, karena sejatinya NU yang disebut oleh KH. Achmad Shiddiq sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) sudah barang tentu akan jauh lebih mementingkan pembahasan tentang masalah-masalah keumatan, kebangsaan dan kenegaraan ketimbang menghabiskan waktu dan sumber daya hanya untuk kegenitan sesaat dalam kontestasi jabatan di internal organisasi. Selamat mengaji dan ber-tabarruk di Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai, semoga Allah memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya.(*)
Muktamar yang Kami Tunggu
Kamis 23-12-2021,09:28 WIB
Oleh: Widisandika
Kategori :