Oleh: Syaiful Amri
(WAKIL PEMIMPIN REDAKSI FIN.CO.ID/RADAR LAMPUNG GRUP)
MOMEN sejarah perhelatan akbar, Pekan Olahraga Nasional (PON) XX yang akan berlangsung di Papua tahun 2020 diprediksi gagal dihelat. Spekulasi ini bukan tanpa dasar. Terlebih eskalasi politik merangsang situasi keamanan yang kian tak menentu.
Kondisi makin diperparah, dengan pembangunan venue di Bumi Cendrawasih yang tak kunjung tuntas. Padahal, gelaran Pekan Olahraga Nasional (Popnas) XV dan Pekan Paralimpik Pelajar Nasional (Peparpenas) XVI tinggal menghitung hari, tepatnya Oktober 2019. Implikasi ini, merupakan sinyal gelaran bersejarah itu akan digagalkan.
Kantor Berita Fajar Indonesia Network (FIN) (Grup Radar Lampung) mendapatkan sejumah bukti. Pertama, surat baik dari Gubernur Papua Lukas Enembe dan kedua surat dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang ditandatangan Sekretaris Jendral Gatot S. Dewa Broto.
Dari dua surat tersebut, secara jelas mencerminkan ketidaksiapan infrastruktur Popnas dan Papernas yang dapat berujung pada pembatalan PON. Yang menarik, FIN juga mendapatkan adanya surat yang kental dengan nuansa politis.
Surat tersebut berasal dari Majelis Rakyat Papua (MRP) yang ditandatangani Ketua MRP Timotius Murip tertanggal 21 Agustus 2019. Beberapa implikasi ini, yang mengesankan gejolak di Papua memang dirancang sedemikan rupa dan begitu terstruktur. Siapa yang bermain? Mari kita bedah secara singkat.
Kita mulai dari surat pertama yang datang dari Gubernur Papua Lukas Enembe yang ditandatangai di Papua, 20 Agustus 2019. Surat dengan Nomor: 4263/9676/SET Prihal: Permohon Pemindahan Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (Popnas) XV dan Pekan Paralimpik Pelajar Nasional (Peparpenas) IX tahun 2019.
Ada enam poin di dalam surat tersebut. Pertama, kondisi keamanan secara umum di Papua serta secara khusus di Jayapura dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan atlet peserta Popnas dan Peparnas yang belum stabil paska terjadinya demonstrasi besar-besaran masyarakat Papua berkaitan kejadian di Surabaya dan Malang. Rentang waktu yang terbilang dekat dengan rencana pelaksanaan Popnas dan Peparpenas.
Kedua kebijakana Pemerintah Papua saat ini melalui APBD difokuskan untuk kegiatan strategis yaitu persiapan penyelenggaraan PON XX dan Peparpenas XVI tahun 2020 di Papua.
Ketiga proses pengadaan peralatan pertandingan dan penyelenggaraan yang dipihakketigakan (Lelang) sebagaimana yang tertuang dalam dokumen anggaran sampai saat ini belum dilaksanakan pelelangan. Unit Layanan Pengadaan (ULP) meminta standar tekhnis dan kejelasan ketersediaan peralatan yang dibutuhkan oleh vendor/penyedia barang tekhnis yang sulit dipenuhi.
Keempat, technical delegate dari cabang olahraga yang akan dipertandingkan dalam Popnas dan Peparpenas juga kesulitan untuk memberikan jaminan ketersediaan peralatan yang dibutuhkan.
Kelima, venue yang akan digunakan untuk Popnas dan Pepapenas sebagian besar venue yang tidak akan digunakan dalam pelaksanaan PON dan Peparnas tahun 2020, sehingga tujuan untuk menjadikan Popnas dan Peparpenas sebagai ujicoba venue tidak akan tercapai.
Dan yang keenam, waktu pelaksanaan Popnas dan Peparpenas yang tinggal kurang lebih 50 hari lagi, sementara beberapa venue yang akan digunakan juga belum siap maka akan sangat menggangu perhatian Pemerintah Provinsi Papua dalam menyiapkan PON dan Peparnas tahun 2020.
Dari keenam poin tersebut Gubernur Papua Lukas Enembe secara jelas meminta pihak terkait dalam hal ini Menpora untuk menunjuk provinsi lain menjadi tuan rumahh Popnas dan Peparpenas 2019.
Surat ini telah dikirim dan ditembuskan ke Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, Deputi Bidang Pelaksanaa Presitasi Olahraga Kemenpora termasuk Ketua DPRD Papua.
Hanya berselang sehari setelah surat itu diluncurkan, muncul surat dari MRP. Surat itu berjudul “Maklumat Majelis Rakyat Papua” dengan Nomor: 05/MRP/2019.
Surat berisi seruan yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di semua kota studi pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk kembali ke tanah Papua. Ini isinya:
”Terkait degan tindakan rasisme, kekerasan, dan persekusi yang dilakukan aparat TNI/Polri, Ormas dan kelompok masyarakat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Semarang dan Makassar Maka Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga represntasi kultural orang asli Papua yang bertanggungjawab menjaga jati diri dan identitas orang asli papua, dengan ini menyerukan kepada mahasiswa Papua bila tidak ada jaminan keamanan dari pemerintah Provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan paratur TNI/Polri di setiap kota studi, maka diserukan pada mahasiswa untuk dapat kembali melanjutkan dan menyelesaikan studinya di Papua” bunyi surat surat tersebut.
Dari kedua surat ini, publik jadi menebak-nebak. Mengapa momen sejarah yang akan dicatat di tanah Papua itu begitu sulit. Sementara Pemerintah Pusat yang berada di bawah komando Presiden Joko Widodo begitu masif melakukan pembangunan di Papua.
Lalu apa hubungannya. Apa korelasinya? Antara kedua surat tersebut. Yang jelas Lukas Enembe, Timotius Murip dan Ketua DPRP Yunus Wonda memiliki pertalian saudara yang begitu dekat. Sumber menyebut, Ketua DPR Papua merupakan ipar gubernur. Sementara Ketua MRP merupakan sepupu gubernur. Semua dari Gunung Puncak. Pertaliannya begitu kuat.
Boleh dibilang mereka merupakan “Trio Penguasa Papua” atau orang-orang berpengaruh di bumi Cendrawasih. Kedua surat itu, nyaris bersamaan diluncurkan. Surat pertama karena alasan keamanan plus faktor venue yang tak juga rampung. Sedangkan surat kedua, didasari karena reaksi.
Lalu dimana letak semangat membangun Papua untuk momen bersejarah itu. Dan dimana pula letak nasionalisme? Pentingkan nilai historis itu bagi mereka?. Begitu gentingkan surat MRP itu?. Tentu akan banyak versi untuk menjawab dan bahan pembenaran. Tapi wajar pula, jika nada sinis pun muncul.
Spekulasi menuding ada gerakan refrendum sebagai nilai bergining di balik upaya menggagalkan tiga momen penting itu. Sebab jika hanya alasan infrastruktur atau venue yang belum siap, ini bisa dipatahkan. Termasuk surat MRP. Apa pentingnya? Inikah jiwa NKRI dalam mendinginkan situasi.
Publik tentu tidak bodoh. Jika hanya untuk merampungkan venue, Kementrian PUPR ahlinya. Mereka biasa dengan kerja cepat dan target. Publik juga mungkin masih mengingat dengan terang. Gagasan refrendum ini sudah lama digaungkan Timotius Murip pada tahun 2013.
Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alih-alih dengan RUU otonomi khusus plus yang didalamnya ada beberapa pasal. Tapi benarkan ada poin refrendum itu? Jawabannya tentu tidak. Dan tidak akan dilakukan sampai kapan pun. Karena Papua tak bisa dipisahkan dari dari perjuangan kemerdekaan republik ini.
West Papua National Committee (KNPB) mencatat keberadaan NKRI sejak 1 Mei 1961 sampai sekarang legal menurut hukum internasional. Wajar jika beberapa statmen Lukas Enembe membuat mereka geli. Terutama ketika Lukas Enembe mengisyaratkan jika Pemerintah Pusat tidak menyetujui Draft UU Otsus Plus, maka itu sama saja rakyat Papua meminta referendum sebagaimana hasil rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP).
Ketua I KNPB, Agus Kosay dalam keterangan resminya menyatakan, jika seorang Gubernur dan MRP mempunyai power tidak perlu memboncengi isu yang lain. Apalagi isu referendum sebagai nilai tawar (bargaining) ke Pemerintah Indonesia.
Kemudian, yang menjadi penyesalan pihaknya adalah kenapa sejak draft Otsus dan Otsus Plus disusun tidak melibatkan semua komponen rakyat Papua Barat, dan diputuskan bersama rakyat Papua Barat.
Otsus pada jaman Mantan Ketua Presidium Dewan Adat Papua, Theys Hiyo Eluay diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada rakyat Papua sebagai nilai tawar atas tuntutan kemerdekaan rakyat Papua, namun, kemudian Otsus dinilai gagal dan kemudian ditolak oleh rakyat Papua dan dikembalikan ke Pemerintah Pusat. Sehingga disini dipertanyakan kenapa harus ada Otsus Plus, yang mana referendum dijadikan alat untuk bargaining ke Pemerintah Pusat.
KNPB meminta kepada Pemerintah Pusat, jangan sertamerta menerima tawaran yang disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe. Kami KNPB atas nama rakyat Papua Barat meminta kepada para pejabat di Provinsi Papua bahwa jika minta sesuatu ke Jakarta, jangan lagi memboncengi dengan isu Papua Merdeka atau referendum.
Terlepas dari pernyataan KNP. Kondisi Papua berlahan mulai membaik, pascatragedi pekan lalu. Aktivitas ekonomi dan pelayanan publik di Pemerintah Provinsi Papua, maupun sejumlah Kabupaten/Kota mulai berlangsung.
Dengan kondisi demikian, penyelenggaraan tiga even besar itu seharusnya tetap dilangsungkan. Sekali lagi, karena ini bagian dari nilai historis dan menunjukan kekuatan NKRI. Meski pun sangat disesalkan adanya keputusan Kemenpora melalui surat dengan Nomor: SS.8.23.5/SET/VIII/2019.
Surat itu berisifat “Sangat Segera”. Diterbitkan 23 Agustus 2019 dan ditujukan ke seluruh Kadispora. Ini sinyal gelaran Popnas XV dan Peparbas IX Papua dibatalkan. Lalu apakan PON XX juga akan terimbas dengan manuver itu. Penulis hanya berharap. Pemerintah dapat menunjukan taringnya. PON Papua harus terlaksana. Papua bukan anak tiri. Papua bagian NKRI!. Ayo Kerja!
Kebayoranlama, 25 Agustus 2019